Saya sebenarnya sungkan membahas gagasan ini, karena gerakan ini tidak sederhana. Creative-Hub sedang latah diucapkan oleh berbagai kalangan dan masih fokus pada pembangunan fisik.
Creative hub adalah ruang fisik maupun virtual yang menggabungkan orang-orang dengan kewirausahaan di bidang industri kreatif maupun budaya. Jadi bukan sekadar ruang fisik tapi ada manusia belajar dan bergerak.
Bekraf sendiri memilih 1/4 anggaran untuk membantu bangunan fisik. Kota-kota di Indonesia juga membangun bangunan creativ-hub tanpa ada integrasi antar sektor. Substansi yang akan dituju dari ekosistem ini sebenarnya kesadaran kolaborasi.
Richard Florida,”The Rise of Creative Class,” mengutamakan 3T yaitu Talenta, Teknologi, dan Toleransi. Talenta berfokus sumber daya manusia (adanya di lembaga pendidikan), Teknologi terutama soal akses internet yang luas dan kurikulum ruang belajar komunitas dan Toleransi sebuah metrik keterbukaan masyarakat dalam mendukung inovasi.
Prasyarat penting Creative-Hub seharusnya tidak lahir dari kebijakan pemerintah semata, yang sifatnya bangunan fisik (meskipun dimasa depan ini jelas penting). Pendekatan awal sebagaimana Richard adalah perguruan tinggi sebagai sumber talenta.
Kolaborasi SDM ini memang langkah awal memulai creativ-hub, tanpa itu sia-sia kita memulai. Di Payungi misalnya sebagai wajah komunitas, SDM kami maksimalkan secara pengetahuan bahkan sudah lama kami menjadikan Payungi sebagai ruang belajar banyak komunitas.
Tidak hanya sekadar pasar, ada Payungi university, kampung bahasa, sekolah desa, sekolah penggerak wisata, women & Environment studies, dan tentu ruang belajar komunitas yang bertujuan pada soft skill dan hard skill.
Teknologi diawal jelas tersedianya internet, tapi skala yang lebih luas pandayagunaan fitur media sosial juga perlu diasah. Kelas transformatif desain grafis, video maker, web developer, animasi, dan lainnya adalah cara komunitas mengenal lebih jauh teknologi untuk perubahan sosial ekonomi. Apa gunanya teknologi jika tidak membentuk perubahan masyarakat, apalagi negara kita hanya jadi konsumen fitur aplikasi negara lain.
Toleransi adalah cara kita mengubah ekosistem masyarakat yang terbuka dan ramah pada inovasi. Masyarakat yang selalu sadar untuk belajar, jadi Creative-hub ini efektif dikerjakan di kampung-kampung kreatif yang fokus pada manusia bukan gedung bangunan saja, harus dimulai di masyarakat.
Jika membentuk Creative-Hub memaksa orang untuk hadir pada bangunan fisik pemerintah, saya rasa sepertinya kita sedang salah arah. Lebih rill melihat kerja-kerja komunitas di teritorial masyarakat, di kampung kreatif, dan apa yang dibangun dijaga oleh warga itu sendiri.
Pemberdayaan masyarakat juga penting dalam creative-hub ini, pemerintah dan perguruan tinggi akan mendorong kerja-kerja komunitas, warga yang terus berproses dan ruang kreatif yang terus tumbuh dengan baik. []
Discussion about this post