Pendidikan menjadi salah satu indikator penting dalam mendukung tercapainya pembangunan ekonomi yang inklusif. Mengingat, masyarakat sebagai penggerak roda pembangunan ekonomi baik secara personality maupun communal perlu mendapatkan asupan pengetahuan yang cukup. Apalagi, disrupsi yang terjadi sangat cepat pada lintas sektoral mengharuskan mereka lebih adaktif dan inovatif agar tidak tertinggal.
Dalam menggerakkan roda ekonomi, lini pendidikan tetap membutuhkan dorong dari lini lainnya. Kolaborasi menjadi yang terdepan agar capaian pembangunan ekonomi daerah dapat diraih seoptimal mungkin. Dan, sejauh ini kolaborasi pentahelix menjadi yang paling sering dipraktikkan, di mana dalam kolaborasi ini melibatkan pelaku academia (pendidikan), business (bisnis/usaha), community (komunitas/masyarakat), goverment (pemerintah), dan media. Namun, seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan hadirnya tantangan baru di dunia ekonomi, turut melahirkan kolaborasi baru yakni hexahelix yang menambahkan peran aggregator di dalamnya. Aggegator ini secara sederhana berperan sebagai pemandu akselerator kolaborasi, pendampingan, inkubator dan off taker.
Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, terutama pada literasi ekonomi dibutuhkan para pengajar dan ruang-ruang belajar yang cukup. Di samping juga, membutuhkan kurikulum transformatif, di mana kurikulum tersebut mampu mendorong masyarakat tumbuh secara kreatif, inovatif dan adaktif terhadap perubahan. Hadirnya ruang-ruang belajar formal seperti sekolahan dan perguruan tinggi tentu tidak cukup jika kita ingin mengejar pertumbuhan ekonomi secara bottom-up. Kearifan lokal setiap daerah sebenarnya lebih dipahami oleh masyarakat setempat ketimbang mereka yang ada di luar daerah. Oleh sebab itu, ruang belajar berbasis lokalitas atau komunitas di setiap daerah harus dihadirkan. Ruang ini sekaligus sebagai perpanjangan tangan dari ruang belajar formal yang akan bertugas mentransfer pengetahuan dengan menggunakan pendekatan lokalitas.
Pesantren Wirausaha yang digerakkan secara kolektif oleh masyarakat menjadi salah satu langkah kongkrit sebagai upaya menyediakan ruang belajar transformatif. Pesantren yang dijalankan sejak tiga tahun yang lalu di dalam Mushola ini fokus dalam menumbuhkan pengetahuan literasi masyarakat lokal. Mereka tidak hanya diajarkan secara teoritik, namun secara praktik mereka diberikan ruang untuk menciptakan kemandirian ekonomi melalui kegiatan dagang. Selama tiga tahun ini tentu banyak perkembangan signifikan yang bisa dilihat, mulai dari semakin tumbuhnya literasi masyarakat, kokohnya spritual, kolaborasi yang semakin sempurna hingga hadirnya kontribusi bagi pergerakan perekonomian lokal. Dan capaian ini tentu ingin ditingkatkan lagi dengan adanya ruang belajar yang lebih nyaman dan punya daya tampung lebih besar seperti saat ini.
Ruang belajar seperti Pesantren Wirausaha akan lebih efektif dalam mentransfer pengetahuan dengan basis lokalitas. Pasalnya, pengetahuan yang diajarkan langsung berfokus pada upaya pengembangan potensi lokal yang ada. Terutama pada potensi-potensi yang dapat dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Selain itu, kolaborasi dengan para stakeholder di tingkat lokal akan semakin kontributif, terutama dalam upayanya menggeliatkan perekonomian daerah, pasal ruang cakupannya tidak terlalu luas.
Gerakan serupa juga telah banyak dibentuk di daerah lain. Muncul sekolah transformatif seperti Does University, Sekolah Seni Tubaba, Payungi University, Sekolah Alam dan lainnya menjadi gerakan pedagogig yang ingin memberikan sumbangsih pengetahuan bagi masyarakat lokal. Sekaligus menepis keterbatasan ruang belajar yang sering kali menjadi masalah mendasar bagi masyarakat (marginal) untuk bisa mengakses pendidikan. Kita berharap, hadirnya sekolah-sekolah transformatif di tingkat grassroot bisa mendorong tumbuh kembangnya potensi daerah. Serta mampu mendorong para kolaborator untuk secara aktif berpartisipasi dalam meningkatkan perekonomian masyarakat lokal.[]
Discussion about this post