Senin, November 24, 2025
Payungi.org
  • Login
  • Home
  • Gerakan
    • Pasar Payungi
    • Pusat Studi Desa
    • Kampung Anak Payungi
    • Pesantren Wirausaha
    • WES
    • Payungi University
    • Bank Sampah
    • Kampung Bahasa
    • Payungi Media
    • Kampung Kopi
  • Gagasan
  • Catatan
  • News
  • Video
  • Registrasi
    • Sekolah Desa
  • Materi
  • Omset
  • Galeri Photo Payungi
No Result
View All Result
  • Home
  • Gerakan
    • Pasar Payungi
    • Pusat Studi Desa
    • Kampung Anak Payungi
    • Pesantren Wirausaha
    • WES
    • Payungi University
    • Bank Sampah
    • Kampung Bahasa
    • Payungi Media
    • Kampung Kopi
  • Gagasan
  • Catatan
  • News
  • Video
  • Registrasi
    • Sekolah Desa
  • Materi
  • Omset
  • Galeri Photo Payungi
No Result
View All Result
Payungi.org
No Result
View All Result
Home Gagasan

Asa Inovator Kota

Ini tentang sebuah kota yang mencoba menjadi laboratorium, di mana kemajuan bukan milik segelintir elite, melainkan milik kita semua.

by Dharma Setyawan
25 Juni 2025
in Gagasan
Reading Time: 4min read
A A
0
Asa Inovator Kota
Share on FacebookShare on Whatsapp

Di Metro, sebuah kota kecil di Lampung, ada kisah yang perlu kita baca. Bukan sekadar deretan angka atau rencana pembangunan, tapi cerita tentang potensi inovasi teknologi yang merangkul rakyat, bukan justru menyingkirkan mereka. Ini tentang sebuah kota yang mencoba menjadi laboratorium, di mana kemajuan bukan milik segelintir elite, melainkan milik kita semua.

Metro selalu dibanggakan sebagai kota pendidikan. Tapi apa artinya gelar itu jika hanya jadi label kaku di gerbang kota? Pendidikan yang sejati adalah pabrik akal sehat, tempat lahirnya manusia kreatif yang tak cuma pandai menghafal, tapi juga punya nurani untuk melihat masalah sosial dan lingkungan. Mereka adalah jembatan, bukan tembok. Jembatan yang menghubungkan ide di kepala dengan aksi di lapangan, meramu teknologi tepat guna hingga merajut benang-benang kusut digitalisasi menjadi permadani yang bisa dipijak semua orang.

Bukti itu nyata, jika kita mau melihat. Saban tahun, di Bappeda, ada semacam kontes. Lomba inovator. Jangan bayangkan riset rumit di menara gading. Ini adalah buah kerja tangan-tangan muda, produk dari kesadaran yang tumbuh dari bawah. Ada yang menciptakan AI untuk memilah sampah. Sampah, yang selama ini cuma jadi momok dan beban APBD, kini punya asisten cerdas. Lebih gila lagi, ada yang merancang sistem Blockchain dari limbah sampah untuk bayar internet, air, dan listrik. Bayangkan, sampah jadi mata uang, limbah jadi sumber daya! Ini bukan lagi utopia di kepala para sarjana, tapi gagasan yang siap menampar kemapanan. Bukankah ini justru potret keberanian dari kota yang kerap dianggap “biasa-biasa saja”?

MYLS dari Gagasan ke Gerakan

Gagasan-gagasan besar ini, tentu tak bisa hanya jadi wacana seminar atau kajian meja bundar. Ia harus membumi, turun ke jalan, dimulai dari mereka yang paling berhak atas masa depan: para pelajar. Di sinilah Metro Youth Leadership Summit (MYLS) harus kembali hidup. Bukan sebagai acara seremonial tahunan yang habis di panggung, melainkan sebagai ruang pertemuan pelajar yang punya nyali untuk berkarya. Sebuah ajang untuk saling mengasah, saling memantik api, saling membuktikan bahwa ide itu bukan barang mewah, ia ada di setiap kepala yang mau berpikir dan tangan yang mau bergerak. Ini adalah panggilan untuk bertindak, dari akar rumput.

Dan soal Metro Creative Hub? Berhentilah memperlakukannya hanya sebagai bangunan fisik yang bisu. Ia harus menjadi jantung kota yang berdenyut, pusat pertemuan yang tak kenal sekat. Di sanalah Komunitas (dengan segala keragaman toleransi-nya), Lembaga Pendidikan (dengan segala talenta yang diasahnya), dan Pemerintah (dengan segala instrumen teknologi dan kekuasaannya), mereka harus duduk sejajar. Bukan untuk saling menunggu aba-aba, apalagi saling curiga. Tapi untuk bergotong-royong. Saling memberi ruang, mengisi celah yang kosong, memantik api inovasi tanpa henti. Ini bukan sekadar kolaborasi basa-basi. Ini adalah kerja politik kebudayaan, membangun kota dari kesadaran bersama.

Namun, di tengah gelora ini, ada beberapa kritik yang tak boleh disimpan. Komunitas, meski semangatnya membara, tak boleh cepat berpuas diri. Mereka harus terus belajar, menggali ilmu baru, membuka diri pada kritik dan masukan. Inovasi itu ibarat sungai, tak pernah berhenti mengalir.

Pemerintah, di kursi kekuasaannya, jangan hanya jadi tukang stempel atau penyedia panggung. Mereka harus mendengar, dengan telinga yang bukan saja dua, tapi seribu. Mendengar jerit rintih masalah di bawah, mendengar gagasan liar yang kadang tak terbayangkan. Kebijakan yang baik lahir dari pemahaman yang mendalam, bukan sekadar teori dari buku tebal. Dan sekolah juga perguruan tinggi, wahai para penjaga menara ilmu, jangan sampai melupakan hakikat kalian. Kalian bukan hanya pencetak ijazah. Kalian tidak boleh lupa mengabdi. Ilmu yang terkurung di kelas itu mati. Ilmu yang hidup adalah yang kembali ke masyarakat, menjadi solusi nyata, bukan sekadar wacana manis di kertas seminar.

Maka, sudah saatnya MYLS dimulai lagi, bukan hanya sebagai ritual tahunan. Ia harus menjadi kesadaran kolektif, sebuah gagasan yang terus diperbarui, dan gerakan baru yang meresap ke dalam setiap teritorial sekolah dan komunitas, dengan fasilitas penuh dari Bappeda Kota Metro. Ini bukan sekadar program, ini adalah janji. Janji untuk membangun kedaulatan kita atas teknologi, bukan sebaliknya.

Dari program ini, kita tak hanya bicara tentang mimpi, tapi tentang hasil nyata yang bisa kita panen untuk menyelesaikan berbagai masalah. Bayangkan, AI pemilah sampah yang kini cuma prototipe di sekolah, kelak jadi sistem terintegrasi di setiap sudut kota. Sampah organik jadi kompos untuk petani lokal, atau malah biogas untuk energi murah. Non-organik kembali jadi bahan baku, bukan limbah yang menggunung. Sistem ini bukan cuma kerja mesin, tapi kerja komunitas lokal yang diberdayakan, diawasi oleh teknologi dari para inovator muda. Atau, sensor-sensor mungil di sungai, yang diciptakan mahasiswa, akan berteriak alarm jika ada pencemaran, memicu gerakan cepat pemerintah dan kesadaran warga untuk menjaga air minum kita.

Sistem Blockchain dari limbah sampah, yang terdengar futuristik itu, bisa menjadi tulang punggung ekonomi mikro untuk warga miskin. Sampah mereka tak lagi bau, tapi bernilai. Ditukar dengan pulsa internet, token listrik prabayar, atau air bersih. Ini bukan sedekah, ini adalah ekonomi sirkular yang inklusif, membangun martabat dari sampah. Dan UMKM? Mereka tak lagi sendiri. Ada alat pengering hasil pertanian bertenaga surya, dirancang siswa SMK, yang bisa membuat panen tak lagi busuk karena cuaca. Ini membebaskan petani dari ketergantungan dan menekan kerugian.

Kurikulum di sekolah bukan lagi tumpukan buku yang membosankan, tapi proyek nyata. Siswa bisa merakit drone pertanian skala kecil untuk memantau lahan, atau membuat aplikasi edukasi bahasa Lampung agar generasi tak lagi lupa akarnya. Pemanfaatan Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) di kelas akan membuat biologi tak lagi hanya gambar di buku, tapi seolah kita bisa masuk ke dalam sel. Sejarah tak lagi hapalan tahun, tapi kita bisa berinteraksi dengan masa lalu Metro.

Pelayanan Publik yang Melayani, Bukan Dilayani: Bayangkan chatbot berbasis AI yang jadi asisten virtual di setiap kantor pemerintah. Mengurangi antrean panjang, mempermudah warga mendapatkan informasi perizinan atau layanan kesehatan. Ini dibangun oleh kolaborasi mahasiswa IT dan birokrat yang mau membuka diri. Atau sistem antrean daring di puskesmas, hasil karya siswa, membuat pasien tak lagi berdesakan, menghemat waktu, dan membuat pelayanan kesehatan lebih manusiawi.

Maka, di Metro ini, kita tak hanya bicara tentang pembangunan fisik. Ini adalah tentang pembangunan kesadaran, pembangunan jiwa, pembangunan kedaulatan. Sebuah kisah yang tak akan berhenti, selama masih ada akal dan hati yang mau bekerja, melawan kemapanan, merajut harapan. Apakah Metro siap untuk memanen buah-buah inovasi ini, ataukah ia akan kembali terbuai dalam zona nyaman yang perlahan mematikan?

Dharma Setyawan
Founder Payungi

ShareSendShare

Discussion about this post

TENTANG KAMI

Payungi hadir atas inisiatif warga berdaya yang percaya perubahan bisa dilakukan dengan gotong royong.

Alamat: Jl. Kedondong, Yosomulyo, Kec. Metro Pusat, Kota Metro, Lampung 34111

Kontak: 0812-7330-7316

LOKASI PAYUNGI

  • Bank Sampah
  • Kampung Bahasa
  • Kampung Kopi
  • Pasar Payungi
  • Payungi Media
  • Payungi University
  • Pesantren Wirausaha
  • Pusat Studi Desa

© Payungi - All Right Reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Gerakan
    • Pasar Payungi
    • Pusat Studi Desa
    • Kampung Anak Payungi
    • Pesantren Wirausaha
    • WES
    • Payungi University
    • Bank Sampah
    • Kampung Bahasa
    • Payungi Media
    • Kampung Kopi
  • Gagasan
  • Catatan
  • News
  • Video
  • Registrasi
    • Sekolah Desa
  • Materi
  • Omset
  • Galeri Photo Payungi

© Payungi - All Right Reserved

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In