Beberapa hari lalu, saya mengikuti diskusi ringan di Payungi atau lebih ke sesi ramah-tamah, karena sejak saya mengetahui Ashoka, hari itu adalah pertama kali saya bertemu dengan para punggawanya, juga Direktur Regional, ibu Nani, yang setiap kalimatnya selalu mempertimbangkan nilai yang diperjuangkan dan bermakna dalam.
Tentu saja ini menjadi angin segar bagi saya, juga WES Women & Environment Studies yang siap berkolaborasi dengan Ashoka dalam melahirkan para changemaker, yang dimulai pada sub keluarga pada program Keluarga Pembaharu (GAHARU) di kawasan Lampung. Terlebih, isu-isu yang diangkat ini ternyata sangat WES-able, yakni menyoal lingkungan, yang tentu juga erat kaitannya dengan perempuan, anak, dan keluarga.
Oiya, ini mengingatkan saya pada saat membuat Kampung Ramah Anak di Payungi dan di Kampoeng Dolanan sebagai sub gerakan WES Payungi, —dan saya rasa ini selaras dengan yang diperjuangkan oleh program Gaharu. Saya dan Direktur WES Payungi ibu Hifni Septina Carolina saat itu saling menyepakati, bahwa dalam misi meningkatkan kualitas dan ekosistem masa pertumbuhan anak-anak tidak bisa dipisahkan dari peran keluarga itu sendiri. Pendidikan seorang anak tidak boleh dibebankan hanya kepada guru saat di sekolah, dan Ibu saja saat di rumah.
Benar, lingkungan yang support menjadi pondasi utama, terlebih yang paling dekat, yakni keluarga. Sedangkan, di lingkungan yang masih menganut paham patriarki, dalam membentuk keluarga yang “mendukung” ini, kami perlu menyepakati hal lain, bahwa hal itu bisa dimulai dari memaknai ulang simbol sumur, dapur dan kasur.
Lalu apa kaitannya dengan merebut simbol “sumur, dapur, kasur” yang mulanya merupakan penjara domestik dan tempat di mana perempuan dipandang hanya dari fungsi biologisnya, dimaknai ulang sebagai ruang-ruang yang bisa jadi medan perjuangan dan pemberdayaan pada lingkup keluarga itu sendiri?
Selama ini, keberadaan kasur, sumur, dapur menjadi ruang paling “sunyi” pada pertimbangan2 persoalan sosial, padahal simbol tersebut justru dapat menjadi kunci pada bagaimana satu anggota keluarga bisa berperan sebagai pembawa perubahan, paling tidak di komunitas paling kecil di lingkungan masyarakat, yakni keluarga.
Kami sepakat bahwa simbol ini harus dikritik, bukan dilawan, karena memang masalahnya bukan di “ruangnya”, tapi justru relasi yang tidak setara di dalamnya. Ketidaksetaraan melahirkan ketidakadilan, ketidakadilan melahirkan kelompok rentan. Jika pada satu keluarga tidak memiliki relasi yang setara di rumah, maka bagaimana anggotanya dapat berdaya di lingkungannya?
Maka ketika sumur yang sebelumnya hanya disimbolkan sebagai ruang perempuan dan ibu resik-resik, mencuci dsb, ia bisa menjadi simbol perjuangan dan pemberdayaan keluarga menyoal lingkungan, akses air, sanitasi, limbah, ruang hijau, pengolahan sampah dll.
Jika seluruh anggota keluarga pada masyarakat sadar terhadap peran, isu dan persoalannya, bukan tidak mungkin ini bisa mendesak para pengambil keputusan pemangku kebijakan untuk lingkungan yang lebih adil dan responsif gender, karena ia tidak hanya dirasakan dan disuarakan oleh satu pihak saja. Karena sebenarnya, misal, kalau banjir yang repot bukan hanya ibu-ibu, tapi semua anggota keluarga kan?
Dapur tidak sekadar jadi tempat memasak dan mengenyangkan perut laki-laki, melainkan ruang di mana anggota keluarga dapat berbagi peran dan bekerja sama; tentang kedaulatan pangan, kemandirian ekonomi, pemenuhan gizi seimbang, kreativitas, kepekaan sosial, budaya, bahkan memperjuangkan eksistensi bahan pangan lokal.
Kasur bukan lagi menjadi simbol dominasi laki-laki atas tubuh perempuan, tapi bisa menjadi ruang intim dan resonansi jiwa dari pasangan yang saling menghormati dan kesadaran akan hak tubuh, tanggungjawab terhadap kesehatan reproduksi dan beban biologis dengan menjunjung tinggi prinsip laa dharara wa laa dhiraara, sehingga ketika melahirkan seorang anak, ia tidak hanya melahirkan dengan rasa syukur, tapi juga pengetahuan pola pendidikan dan peran yang setara di dalamnya.
Perempuan, anak dan lingkungan memang menjadi fokus WES dalam kerja-kerja pemberdayaan ini, maka setiap sudut paling kecil pun kami pertimbangkan keberadaannya. Seperti merebut makna sumur, dapur, kasur yang ternyata berkelindan dari satu persoalan ke persoalan lain.
Merebutnya berarti juga menjadikannya ruang yang di mana semua anggota keluarga dihargai nilai dan kehadirannya, tidak menjadikan seorang invisible dan kehilangan agensinya. Karena jika sumur, dapur, dan kasur ditanami dengan keadilan dan kesepakatan, ia tak lagi menjadi penjara dalam bentuk rumah, melainkan menjadi ruang yang memberdayakan semua anggota di dalamnya. Dengan begitu, melahirkan satu lagi seorang pembawa perubahan (changemaker) di satu keluarga bukan lagi kemustahilan, bukan?
Tidak mudah memang, tapi setengah langkah kecil pun pasti memiliki dampak. Maka ke depan, kita tidak akan lagi mendengar ibu-ibu membicarakan orang lain, melainkan ide-ide dan inovasi gerakan, mereka mengolah sampah, menanam di lahan luas maupun lahan terbatas dengan sistem hidroponik seperti yang dilakukan emak2 payungi. Bapak-bapak yang juga hadir pada kerja-kerja sosial masyarakat, gotong royong membangun lingkungan yang lebih ramah dan sehat, anak-anak mendapatkan ruang tumbuh yang mendukung, aman dan nyaman.
Tentu saja menjadi changemaker bisa dimulai dari ruang paling sunyi, paling personal, tapi juga paling politis, kan?; sumur, dapur, kasur.
Wahyu Puji – Direktur WES Payungi

Discussion about this post