Sebagai bagian kecil gerakan pemberdayaan di Metro, Lampung, sebuah inisiatif bernama Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi) telah melampaui identitasnya sebagai sekadar pasar kuliner. Payungi berkembang menjadi ruang berpikir, laboratorium gagasan, dan inkubator budaya. Payungi bukan lagi sekadar tempat transaksi, melainkan sebuah medan perjumpaan yang melahirkan dan mendistribusikan ide, membentuk kader penggerak, serta merajut komunitas yang kokoh.
Jantung transformasi Payungi berdenyut pada Pesantren Wirausaha. Inilah lokus di mana para pedagang, yang mulanya berorientasi pada transaksi semata, mengalami perjalanan menjadi kader penggerak. Melalui pesantren ini, pengetahuan tidak hanya disampaikan secara teoretis, melainkan diinternalisasi dan diwujudkan dalam praktik. Mereka diajarkan lebih dari sekadar berdagang; mereka dibekali dengan etos kewirausahaan yang terus tumbuh.
Proses ini bukan sekadar pelatihan teknis. Ia adalah pembentukan karakter. Bonding (ikatan) yang kuat terbentuk di antara para pedagang, bukan hanya karena kesamaan profesi, melainkan karena kesadaran akan tujuan bersama. Budaya gotong-royong menjadi pilar utama, di mana saling bantu dan berbagi pengetahuan adalah keniscayaan.
Kemampuan menjual produk mereka terasah melalui praktik langsung, dilengkapi dengan inovasi kuliner yang terus-menerus didorong, dan kemampuan promosi media sosial yang adaptif terhadap dinamika pasar digital. Yang paling krusial, mereka diajari untuk membangun ide dan mendistribusikannya satu sama lain. Ruang diskusi terbuka, gagasan saling bertabrakan, dan dari sana, solusi-solusi kreatif lahir dan tersebar luas.
Di Payungi, proses belajar tak mengenal batas usia. Meskipun ada gap usia yang nyata, terdapat kesadaran untuk saling melengkapi. Aktor-aktor junior, dengan kelincahan dan keterbukaan mereka terhadap teknologi, memahami dan merangkul tren baru. Mereka membawa angin segar, ide-ide disruptif, dan cara-cara promosi yang inovatif. Sebaliknya, aktor-aktor senior adalah penjaga memori kolektif. Mereka membawa budaya masa lalu untuk disajikan menjadi tuntunan (nilai). Kearifan lokal, resep-resep warisan, dan filosofi hidup tradisional menjadi pondasi yang kokoh, mencegah Payungi terombang-ambing oleh arus modernitas yang tak berakar.
Pengalaman panjang gerakan ini telah menjelma menjadi laboratorium gerakan yang otentik. Setiap gagasan, sekecil apa pun, diuji, didiskusikan, dan jika memungkinkan, didaratkan ke dalam praktik nyata. Ini adalah ekosistem yang hidup, di mana teori dan praktik saling melengkapi, menciptakan siklus inovasi yang berkelanjutan.
Payungi telah melahirkan lebih dari sekadar pedagang; ia menghasilkan kelompok pemikir sekaligus seniman yang unik. Mereka adalah individu-individu yang tidak hanya mampu mencari peluang, tetapi juga menghasilkan pengetahuan dan ruang seni yang otentik. Ini adalah embrio dari kampung kreatif yang sedang tumbuh, di mana bahan baku utamanya adalah ide yang bertemu pada seni kehidupan.
Konsep “seni kehidupan” di sini bukan sekadar estetika visual, melainkan sebuah pendekatan holistik terhadap eksistensi. Ia merangkum cara mengelola hidup, berinteraksi dengan sesama, dan berkreasi dari apa yang ada. Kebudayaan kampung kreatif di Payungi adalah perwujudan dari keinginan untuk menghidupkan nilai masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Ini adalah sintesis yang harmonis, di mana tradisi tidak menjadi belenggu, melainkan inspirasi untuk inovasi.
Ambil contoh budaya kuliner di Payungi. Pelan namun pasti, ia adalah bentuk perlawanan pangan lokal di tengah gempuran modernitas. Di saat makanan cepat saji dan produk olahan massal menguasai pasar, Payungi dengan bangga menyajikan hidangan-hidangan otentik, diolah dengan bahan-bahan lokal, dan disajikan dengan cerita di baliknya.
Ini bukan sekadar urusan perut; ini adalah soal identitas. Dibutuhkannya masa lalu, untuk merebut makna, mengulang cerita, mengokohkan jenama, dan menyuguhkannya dalam sistem budaya dengan penuh bangga. Setiap hidangan adalah manifestasi dari sejarah, kearifan lokal, dan kebanggaan akan warisan. Payungi, dengan demikian, tidak hanya menjual makanan, tetapi juga menjual narasi, menjual kebanggaan, dan menjual sebuah visi tentang bagaimana budaya bisa menjadi kekuatan pemberdayaan.
Dharma Setyawan
Founder Payungi

Discussion about this post