Senin, November 24, 2025
Payungi.org
  • Login
  • Home
  • Gerakan
    • Pasar Payungi
    • Pusat Studi Desa
    • Kampung Anak Payungi
    • Pesantren Wirausaha
    • WES
    • Payungi University
    • Bank Sampah
    • Kampung Bahasa
    • Payungi Media
    • Kampung Kopi
  • Gagasan
  • Catatan
  • News
  • Video
  • Registrasi
    • Sekolah Desa
  • Materi
  • Omset
  • Galeri Photo Payungi
No Result
View All Result
  • Home
  • Gerakan
    • Pasar Payungi
    • Pusat Studi Desa
    • Kampung Anak Payungi
    • Pesantren Wirausaha
    • WES
    • Payungi University
    • Bank Sampah
    • Kampung Bahasa
    • Payungi Media
    • Kampung Kopi
  • Gagasan
  • Catatan
  • News
  • Video
  • Registrasi
    • Sekolah Desa
  • Materi
  • Omset
  • Galeri Photo Payungi
No Result
View All Result
Payungi.org
No Result
View All Result
Home Gagasan

Jenama Metro?

Gagalnya waralaba besar seperti Starbucks dan McDonald's di Metro bukanlah aib, melainkan sebuah kesempatan bagi kota tersebut untuk menolak hegemoni global dan membangun kemajuan otentik yang berakar pada identitas lokal melalui kolaborasi antara pemimpin, pengusaha, dan komunitas.

by Dharma Setyawan
5 Juli 2025
in Gagasan
Reading Time: 3min read
A A
0
Jenama Metro?
Share on FacebookShare on Whatsapp

Metro acap kali dilihat kurang modern, sederhana, bahkan sering disebut setengah desa dan setengah kota. Metro seharusnya menolak tegas jika kelak seperti macetnya Jakarta atau polusi akut seperti Surabaya. Namun ada pertanyaan klise. Mengapa di Metro waralaba besar seperti Starbucks, McDonald’s, Pizza Hut, tidak tumbuh baik, bahkan sudah ada yang gagal? Pertanyaan yang bagi sebagian orang, dengan cara pandang urbanis sentris, adalah penanda seolah gagalnya sebuah kota yang merangkak naik ke strata “modern.”

Bagi saya ini bukan kekurangan, kita bisa juga melihat dari sisi kelebihan. Sebuah cara pandang lain bagaimana kita mendefinisikan kemajuan. Apakah segelintir gerai waralaba global itu adalah indikator tunggal keberhasilan sebuah kota? Kalau iya, kita sedang terjebak dalam hegemoni, sebuah jebakan konsumerisme global yang menggerus identitas lokal. Jakarta milik mereka, kota-kota besar lain juga. Lantas, apa bedanya Metro jika hanya menjadi fotokopi buram dari kota-kota yang memiliki masalah kompleks?

Metro dengan penduduk lebih dari 170 ribu jiwa dan luas hanya 68,74 km². Sebuah skala yang sejatinya ideal untuk membangun kota yang berkarakter, bukan kota yang sekadar “ada.” Metro punya APBD yang kini tembus Rp 1 triliun dan terus berupaya meningkatkan PAD. Uang itu, seharusnya, bisa menjadi amunisi untuk membangun sesuatu yang otentik, yang berakar pada lokalitas, bukan hanya jadi umpan bagi korporasi raksasa yang ujung-ujungnya mengirim laba ke kantor pusat di seberang benua.

Faktanya, ketiadaan raksasa-raksasa itu harusnya dibaca sebagai alarm, bukan aib. Alarm bahwa Metro punya pilihan. Pilihan untuk tidak larut dalam arus homogenisasi global. Pilihan untuk membangun jati dirinya sendiri. Punya daya tarik akan kesadaran kolektif. Tiap tahun 1 triliun datang, berapa ratus miliar yang keluar dari kota ini? Jika tidak ada geliat perdagangan, jasa dan fasilitas pendidikan, 1 Triliun tidak menumbuhkan kota secara signifikan, bahkan hampir 70% dinikmati sendiri oleh birokrasi.

Titik Temu Kolaborasi

Gagasan ini hanya akan jadi dongeng pengantar tidur jika para aktor utamanya tak berani bergerak. Pertama, Pemimpin dan birokrasinya harus mampu menjadi perekat komponen. Dengan suburnya sekolah berkualitas dan tumbuhnya belasan perguruan tinggi di Metro, apakah kurikulum kita sudah cukup memantik kesadaran lokal? Atau justru masih mencetak “robot-robot” pencari kerja yang siap jadi buruh di pabrik-pabrik homogen?

Pendidikan adalah fondasi, dan di Metro, fondasi itu seharusnya kokoh berdiri di atas nilai-nilai lokal, bukan sekadar menara gading yang terputus dari realitas masyarakatnya. APBD yang ada harusnya mengalir untuk menguatkan ekosistem pendidikan yang berpihak pada Metro, bukan hanya proyek fisik semata. Atau kepanjangan tangan dari system nasional yanh silih berganti makin kehilangan arah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kedua, Kolaborasi pengusaha lokal. Mereka adalah ujung tombak ekonomi. Tapi pertanyaan besarnya, apakah mereka berani keluar dari zona nyaman dan tidak sekadar “ikut-ikutan” trend brand global? Revitalisasi pasar tradisional seperti Kopindo atau Cendrawasih bukan hanya soal mengecat ulang lapak. Ini soal membangun narasi. Mengubahnya jadi seperti “Hallway Space Kosambi Bandung, Lokananta Solo, atau M Block Space Jakarta. Ruang yang hidup, yang merayakan produk lokal, yang menunjukkan bahwa modernitas bisa bersanding mesra dengan kearifan. Ini bukan tugas mudah, butuh nyali dan visi, bukan sekadar mental “cari aman” menunggu waralaba.

Ketiga, komunitas. Entitas ini adalah jantung kota. Mereka yang paling tahu denyut nadi gerakan kota. Mereka yang harusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga ruang kreatif, memantik kesadaran sejarah, dan mengangkat jenama (brand) lokal agar terus vokal. Tapi apakah kita cukup memberi mereka ruang? Atau justru birokrasi dan kepentingan modal menghimpit geliat mereka?

Kita bicara soal digitalisasi dan AI, bukan lagi tentang masa depan tapi tentang tantangan kebudayaan. Jenama lokal di Metro harus melek teknologi. AI sebagai kecerdasan imitasi bisa jadi alat bantu untuk memahami pasar, mempersonalisasi produk, hingga mengoptimalkan rantai pasok. Bukan untuk menggantikan, tapi untuk memperkuat keunikan lokal. Pertanyaannya, apakah perguruan tinggi dan pemerintah sudah menyiapkan ekosistem untuk ini? Atau hanya menjadi jargon manis di atas kertas dan sibuk dengan anggaran rutin sosialisasi berjudul Masyarakat ASEAN, 4.0, 5.0 dan kini menghadapi AI.

Creative-Hub yang dicanangkan itu, apakah hanya sebatas bangunan fisik? Atau memang menjadi inkubator ide, tempat intelektual penggerak bisa bertemu, berjejaring, dan menginisiasi perubahan nyata? Dengan banyaknya kampus dan komunitas yang guyub, Metro punya potensi luar biasa untuk tumbuh. Tapi, potensi tak akan jadi apa-apa tanpa gerakan yang terintegrasi dan kolaborasi yang sungguh-sungguh, bukan sekadar basa-basi seremonial. Bukan hanya ruang temu tapi gagas dan gerak wajib bertemu.

Metro apakah hanya jadi kota yang sekadar “ada,” atau diukur dari seberapa banyak waralaba asing yang bercokol? Atau mau jadi kota yang punya identitas, yang bangga dengan ruang kreatifnya, fashionnya, kulinernya, oleh-olehnya dan talentanya. Penuh bangga dan percaya diri yang dikelola secara profesional dengan sentuhan modernitas dan digitalisasi, namun tetap berakar lokal.

Pilihan ada di tangan kita semua. Para pemimpin, pengusaha, dan komunitas yang menumbuhkan pendidikan kreatif berbasis partisipasi warga. Menghadirkan yang nasional tentu ada yang positif. Toko buku, festival kreatif, fasilitas publik dari donatur nasional seperti sarana olahraga dan lainnya. Apakah kita mau jadi pionir yang terus mengukir, atau hanya penonton setia yang menunggu brand waralaba datang lagi, seolah itulah satu-satunya kunci kota menuju kemajuan?

Dharma Setyawan
Founder Payungi

ShareSendShare

Discussion about this post

TENTANG KAMI

Payungi hadir atas inisiatif warga berdaya yang percaya perubahan bisa dilakukan dengan gotong royong.

Alamat: Jl. Kedondong, Yosomulyo, Kec. Metro Pusat, Kota Metro, Lampung 34111

Kontak: 0812-7330-7316

LOKASI PAYUNGI

  • Bank Sampah
  • Kampung Bahasa
  • Kampung Kopi
  • Pasar Payungi
  • Payungi Media
  • Payungi University
  • Pesantren Wirausaha
  • Pusat Studi Desa

© Payungi - All Right Reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Gerakan
    • Pasar Payungi
    • Pusat Studi Desa
    • Kampung Anak Payungi
    • Pesantren Wirausaha
    • WES
    • Payungi University
    • Bank Sampah
    • Kampung Bahasa
    • Payungi Media
    • Kampung Kopi
  • Gagasan
  • Catatan
  • News
  • Video
  • Registrasi
    • Sekolah Desa
  • Materi
  • Omset
  • Galeri Photo Payungi

© Payungi - All Right Reserved

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In