PEREMPUAN DAN KEPEMIMPINAN SPIRITUAL[1]
Nani Zulminarni[2]
Assalamualaikum wr wb, salam Sejahtera bagi kita semua. Tabek pun…. Selamat merayakan 7 tahun perjalanan Payungi, usia yang masih muda, namun dengan banyak pencapaiannya. Terima kasih telah mengundang saya untuk berbicara pada malam hari ini. Nama saya Nani Zulminarni, asal dari Kalimantan Barat – Pontianak. Saya adalah seorang nenek dari 5 orang cucu yang diberikan oleh 3 orang anak laki-laki beserta 3 orang menantu perempuan saya. Saya mengidentifikasi diri saya sebagai pegiat gerakan perempuan, khususnya perempuan kepala keluarga (Pekka) dan komunitas marjinal lainnya. Sejak 5 tahun lalu saya memimpin organisasi Ashoka – satu organisasi global yang mendukung wirausahawan sosial kelas dunia dan para changemaker untuk membangun gerakan “everyone a changemaker” atau setiap orang adalah pembaharu. Malam ini saya akan berbagi pemikiran terkait “Perempuan dan Kepemimpinan Spiritual”. Judul ini cukup berat namun menantang saya untuk mengurai pengalaman panjang dan proses saya belajar dari puluhan ribu perempuan di berbagai wilayah Indonesia dan berbagai negara tentang kepemimpinan dan perempuan pemimpin.
Setiap berfikir tentang kepemimpinan perempuan dan “perempuan pemimpin”, yang selalu muncul pertama kali dalam benak saya adalah dua orang perempuan hebat yang mengasuh dan mempengaruhi hidup saya hingga menjadi diri saya saat ini, yaitu Zuhairah – emak yang melahirkan saya; dan Nenek Habibah – ibu nya emak saya. Bagi saya Emak adalah perempuan pemimpin, yang hebat, meskipun pendidikan formal Emak lulusan Sekolah Dasar saja. Kemiskinan dan keterpencilan telah mematahkan cita-cita Emak untuk bersekolah setinggi mungkin. Tanpa punya pilihan lain, Emak menikah dengan Abah pada usia yang masih muda yaitu 18 tahun. Emak kemudian mendedikasikan hidupnya untuk mendampingi Abah dan mengasuh kami 10 orang anak-anaknya; 7 perempuan dan 3 laki-laki. Emak 11 kali melahirkan (satu kali mendapatkan anak kembar), dua orang anak meninggal ketika masih bayi, saya adalah anak nomor 3.
Salah satu ajaran yang ditanamkan oleh Emak kepada kami anak-anak perempuan nya sejak kecil adalah kemandirian. “Jadi perempuan itu harus mandiri, bisa mengambil keputusan sendiri. Untuk itu kita harus bisa memenuhi kebutuhan sendiri, dengan memiliki penghasilan. Emak selalu menekankan hal itu khususnya ketika dia sedang sedih karena tidak memiliki uang untuk memenuhi keinginan kami anak-anaknya. Emak sering bercerita tentang mimpinya bersekolah sampai jenjang yang tinggi, kemudian bekerja. Emak juga sering mengungkapkan beratnya berharap uang dari suami. Seringkali Emak dianggap boros karena uangnya cepat habis. Padahal karena anak banyak dan juga ada beberapa orang kerabat yang menumpang di rumah kami, maka uang belanjanya cepat habis karena Emak selalu berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari dalam jumlah yang sangat banyak.
Ketergantungan Emak pada Abah, dan keluhannya tentang kesulitan memenuhi kebutuhan keseharian karena terbatasnya uang yang abah berikan kepadanya, membuatku berpikir bahwa Emak sepertinya tidak bahagia. Puncak kelaraan Emak adalah ketika dia tidak bisa pulang ke Ketapang- kampung halamannya, menjenguk Datuk yang sakit keras hingga Datuk meninggal dunia. Abah tidak memberi emak uang sehingga emak tidak bisa berangkat. Emak sangat sedih dan marah. Berhari-hari aku melihat Emak tidak bertegur sapa dengan abah karena kemarahannya. Emak juga menjadi omongan saudara-saudaranya karena tidak menghadiri pemakaman ayahnya. Padahal Emak sungguh sangat ingin pergi namun tidak memegang uang se-sen pun.
Sementara itu Nenek Habibah adalah perempuan istimewa dimata saya. Meskipun tidak bersekolah formal, Nenek bisa membaca tulisan Arab Melayu. Kemampuan ini membuat Nenek bisa mengajar mengaji. Muridnya orang-orang penting, seperti pejabat-pejabat pemerintah daerah, termasuk bupati. Selain mengajar mengaji, Nenek juga pintar membuat jamu dan bedak dingin. Kami menyebutnya “bedak restung”, yang terbuat dari tepung beras dan berbagai tanaman herbal. Bedak ini harum, dan terasa dingin bila dikenakan di wajah, sehingga sangat digemari oleh perempuan dan laki-laki di Kampung Nenek yang udaranya selalu panas di siang hari.
Nenek seorang pekerja keras. Setiap hari, Nenek harus mengambil air dari Sungai Pawan yang ada di depan rumahnya dengan ember. Padahal, rumahnya adalah rumah panggung, sehingga dia harus naik-turun tangga, bolak-balik dari sungai ke rumah, untuk mengisi tempayan untuk semua mandi dan segala macam keperluan rumah. Nenek juga memasak, mencari kayu bakar, dan membereskan rumah. Setelah itu, Nenek akan mandi lalu mengenakan kain dan baju kurung, menyangkutkan selendang panjang di kepalanya. Dia bersiap untuk pergi mengajar mengaji. Begitulah rutinitas Nenek Habibah.
Nenek menikah untuk menggantikan kakaknya yang meninggal dunia. Dia harus menikah dengan Datuk Basri, abang iparnya mengikuti tradisi dan mematuhi keinginan orang tuanya. Setelah menikah, Nenek harus mengurusi keponakannya, selain anak-anak yang kemudian dilahirkannya sebanyak enam orang, termasuk Emak. Nenek pun harus mencari nafkah sendiri. Datuk awalnya bekerja sebagai pelaut, tetapi kemudian menggantungkan hidupnya dari kebun-kebun yang dia miliki. Sayangnya, pekerjaan di kebun tidak dia lakukan secara rutin, sehingga Nenek harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarga memenuhi keperluan sehari-hari. Nenek akhirnya menjadi tumpuan kehidupan seluruh keluarga. Namun, saya tidak pernah sekalipun mendengar Nenek mengeluh. Nenek adalah perempuan yang sangat tabah dan tangguh.Nenek selalu terlihat bahagia khususnya ketika akan pergi mengajar mengaji. Nenek akan menyapa dan berbincang dengan banyak orang yang ditemuinya sepanjang perjalanannya. Nenek sepertinya membangun ruang kehidupan dan kenyamanannya sendiri ditengah kesempitan didalam rumah tangganya.
Namun Emak dan Nenek tidaklah dianggap sebagai pemimpin baik oleh keluarga dan oleh masyarakat luas. Kita umumnya hanya melihat dua ranah kepemimpinan; yaitu kepemimpinan struktural dan kultural. Kepemimpinan struktural adalah kepemimpinan yang diperoleh melalui berbagai cara yang resmi termasuk pemilihan, pengangkatan, profesi atau karir, pendidikan, dan penunjukkan. Kepemimpinan seperti ini umumnya disebut kepemimpinan formal yang dibatasi oleh proses, tempat dan waktu. Mereka umumnya mempunyai kekuasaan dan kontrol terhadap berbagai sumberdaya. Misalnya Presiden, anggota DPR, Menteri, Kepala Desa, Direktur, dan posisi-posisi lainnya.
Sementara itu, kepemimpinan kultural adalah kepemimpinan informal dengan pengakuan sosial kultural masyarakat akan kontribusi dan peran khas seseorang dalam masyarakatnya. Pemimpin kultural dihormati, didengar, dijadikan acuan oleh masyarakat atau komunitas. Diantara mereka ini termasuk tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan juga para suami. Kedua ranah kepemimpinan diatas, didominasi oleh laki-laki. Perempuan di kepemimpinan struktural masih dibawah 20% sedangkan dikepemimpinan kultural dibawah 10%.
Jika demikian, lalu dimana posisi Emak Zuhairah dan Nenek Habibah dalam ranah kepemimpinan? Menurut saya, Emak dan Nenek adalah Perempuan Pemimpin Spiritual. Kepemimpinan spiritual selama ini sering dikaitkan dengan keagamaan ataupun keyakinan-keyakinan tertentu. Platform AI mengatakan bahwa “Kepemimpinan spiritual adalah gaya kepemimpinan yang mendalam dan berakar pada nilai-nilai spiritual atau keagamaan, yang berfokus pada pembentukan karakter, integritas, dan keteladanan melalui etika dan keyakinan. Pemimpin spiritual menginspirasi orang lain untuk bertindak dengan memengaruhi hati nurani mereka melalui pendekatan etis, cinta altruistik (cinta tanpa syarat), empati, dan visi yang bermakna, bukan hanya berdasarkan jabatan atau kekuasaan”. Uraian diatas sangat menggambarkan apa yang ada pada Emak, Nenek, dan puluhan ribu perempuan kepala keluarga yang saya temui selama ini. Oleh karena itu saya merasa yakin bahwa kepemimpinan spiritual adalah ranah ketiga dalam kepemimpinan, yang melintas batas struktur dan kultur, usia, geografi serta gender. Setiap orang diberi “potensi” kepemimpinan spiritual sejak lahir, dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh proses kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Patriarki dan konstruksi sosial yang menghalangi perempuan berada di ranah kepemimpinan struktural dan kultural, telah membuka ruang kesempatan tumbuh kembangnya potensi kepemimpinan spiritual dalam diri perempuan. Peran dan tanggung jawab berganda, tanpa kekuasaan dan sumberdaya memadai, telah membuat perempuan terlatih mengolah empati dan rasa dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya. Pembatasan-pembatasan yang diberlakukan pada perempuan, menjadi kesempatan tumbuh kembangnya kreativitas perempuan mengatasi berbagai kesulitan dalam kehidupan. Oleh karena itu, saya meyakini bahwa sesungguhnya perempuanlah yang mendominasi kepemimpinan spiritual.
Selain Nenek Habibah dan Emak Zuhairah yang saya saksikan dan rasakan kepemimpinan spiritualnya secara langsung, beberapa perempuan dalam peradaban Islam juga menjadi contoh kepemimpinan spiritual perempuan. Misalnya Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail AS yang memiliki keimanan, ketangguhan, ketabahan, dan kesabaran menuruni dan berlari antara bukit Safa dan Marwah, menghadapi keganasan alam demi kehidupan anaknya merupakan ujud dari kuatnya kepemimpinan spiritual yang nyata . Demikian pula halnya dengan Siti Maryam – ibunda Nabi Isa AS yang salihah, taat dan berilmu, yang tanpa suami, diberikan amanah anak di rahimnya oleh Allah swt. Siti Maryam berjuang seorang diri melahirkan dan memastikan Nabi Isa AS dapat hidup dan sehat serta menjadi Rasul. Di zaman ini, kita juga pernah menyaksikan foto viral gempa di suriah dimana seorang anak perempuan 7 tahun berada dibawah reruntuhan Gedung melindungi kepala adiknya dengan tangannya. Dia berjuang menghibur adiknya agar terus bertahan hingga regu penolong membebaskan mereka. Buat saya apa yang terjadi dan dialami oleh perempuan-perempuan ini, yang mengambil keputusan dengan pertimbangan cinta kasih, empati, dan ketulusan, untuk memberikan kehidupan, kebaikan dan teladan bagi orang lain, adalah bentuk kepemimpinan spiritual.
Oleh karena itu, melalui forum pada malam ini, saya ingin mengajak kita merefleksikan makna kepemimpinan, dan khususnya kepemimpinan perempuan. Sejak puluhan tahun yang lalu, memperkuat kepemimpinan perempuan di Indonesia menjadi salah satu agenda terdepan gerakan perempuan. Namun fokusnya cenderung pada potensi kepemimpinan struktural dan kultural, dengan asumsi bahwa selama ini perempuan tidak memimpin. Padahal setelah hampir 40 tahun dalam gerakan perempuan, kita merasakan bahwa tantangan kesetaraan dan keadilan pada perempuan semakin besar dan kompleks. Bahkan ada beberapa hal dalam kehidupan perempuan yang hampir tidak berubah diantaranya tanggung jawab perempuan di urusan reproduksi dan kerja2 pengasuhan tidak berbayar yang 4 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki; kekerasan terhadap perempuan di berbagai ranah yang semakin intensif, dan peran ekonomi perempuan yang terus dipinggirkan.
Menyadari hal ini, ada baiknya kita mulai memaknai secara lebih dalam kepemimpinan perempuan dengan memperkuat pemahaman tentang kepemimpinan spiritual. Secara tradisional dalam kepemimpinan struktural dan kultural, perempuan diberikan peran dan tanggung jawab pengasuhan, perawatan dan reproduksi yang umumnya tidak berbayar, tidak disadari kevitalannya, sehingga tidak dianggap penting dalam sistem yang ada. Bahkan perempuan tidak diposisikan sebagai pemimpin dengan peran-peran tersebut. Padahal peran ini adalah kunci dari proses kehidupan dan membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Sebagai contoh, seorang ibu adalah madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya, seorang guru PAUD, TK dan SD adalah kontributor penting dalam pembentukan karakter seorang anak, seorang pengasuh adalah penjaga keselamatan dan pertumbuhan anak-anak. Ini adalah ranah yang umumnya dikuasai oleh perempuan, namun sayangnya justru dianggap sebagai kelemahan dan keterbelakangan perempuan sebagai pemimpin. Dukungan pada perempuan lebih banyak diberikan untuk peran-peran publiknya, dengan harapan dapat meningkatkan kepemimpian struktural dan kulturalnya. Karena dalam sistem yang berlaku saat ini hanya di dua ranah inilah perempuan baru bisa mempengaruhi keputusan dan kebijakan. Maka kita sering mendengar kalimat “hanya ibu rumah tangga”; “perempuan tau apa?”; “konco wingking – dapur sumur Kasur”. Cara pandang ini telah merendahkan posisi perempuan yang sesungguhnya adalah pemimpin spiritual. Padahal jika kita semua menyadari kekuatan kepemimpinan spiritual perempuan maka seluruh sistem harus mendukung perempuan, sama pentingnya dengan kepemimpinan lainnya. Karena dengan kepemimpinan spiritualnya, perempuan adalah peletak dasar dan pembangun fondasi bagi transformasi sosial dan nilai-nilai baru yang lebih setara dan adil bagi semua.
Ideologi patriarki yang menjadi landasan relasi kekuasaan yang tidak adil bagi perempuan khususnya, telah mengakar sangat kuat melalui proses pengasuhan dan pendidikan yang berlangsung secara berkesinambungan mulai dari dalam keluarga lalu termanifestasi dalam seluruh sistem kehidupan. Oleh karena itu, untuk melakukan perubahan yang juga mengakar, harus dimulai dari dalam keluarga dimana perempuan dapat menjalankan kepemimpinan spiritual dalam kesehariannya. Disinilah perempuan dapat menjadi pembuat perubahan yang sangat penting. Dengan demikian, narasi kepemimpinan perempuan, harus kita perkuat dengan mengedepankan Kepemimpinan Spiritual Perempuan yang memiliki peran penting dalam mengkonstruksikan nilai-nilai baru terkait relasi kekuasaan berbasis gender, yang lebih setara dan adil. Perempuan dan kepemimpinan spiritual nya adalah “changemaker maker” – pelahir pembuat perubahan, yang berkesinambungan, dan ini dimulai dari “keluarga”.
Demikian, urun pemikiran dari saya, semoga dapat memancing emosi, menggugah kesadaran, untuk kemudian mendiskusikannya lebih lanjut. Mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan dalam penyampaian saya.
“Wallahul muwaffiq ila aqwamit-thariiq“, “Nashrun minallahi wa fathun qorib wa basyiril mu’minin” “Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”.
Metro – Lampung, 28 Oktober 2025
Nani Zulminarni
Endnote:

Discussion about this post