Sebuah kebajikan universal yang melintasi budaya, sejarah bahkan zaman. Sabar telah menjadi pilar penting dalam memahami eksistensi manusia sejak era kuno. Bukan sekadar menunggu, sabar adalah sebuah sikap batin yang kompleks, sering kali ditempa oleh keadaan tak terduga, dan muncul saat ujian harus datang tiba-tiba. Jadi kata sabar muncul seiring dengan kejadian-kejadian atau ujian hidup hanya pada manusia tidak pada makhluk lainnya.
Chairil Anwar dalam penggalan puisi “Derai-Derai Cemara” mengatakan,”hidup adalah menunda kekalahan.” Mungkin karena tidak ada kemenangan yang abadi, karena sejatinya hidup bukan tentang perlombaan tapi kebaikan yang terus berproses. Dalam filsafat Yunani, konsep sabar sering kali terjalin dengan ide stoikisme. Para filsuf Stoa, seperti Seneca dan Epictetus, melihat kesabaran bukan sebagai pasivitas, melainkan sebagai ketahanan mental (apatheia) dalam menghadapi penderitaan dan takdir yang tak terhindarkan. Bagi mereka, mengendalikan emosi dan menerima apa yang tidak bisa diubah adalah bentuk tertinggi dari kebajikan. Sabar adalah kemampuan untuk tetap tenang dan rasional di tengah gejolak, sebuah kekuatan internal yang membebaskan individu dari perbudakan nafsu dan kekhawatiran.
Tradisi Romawi juga menjunjung tinggi nilai kesabaran, terutama dalam konteks ketahanan militer (patientia) dan ketabahan sipil. Kesabaran dipandang sebagai atribut kepemimpinan yang esensial, memungkinkan para jenderal dan negarawan untuk membuat keputusan yang bijaksana di bawah tekanan. Bagi rakyat biasa, patientia adalah kebajikan yang membantu mereka melewati kesulitan hidup, seperti kemiskinan atau kekalahan dalam perang, dengan martabat dan keberanian.
Dalam agama-agama samawi—Yahudi, Kristen, dan Islam—sabar (sering disebut ṣabr dalam Islam, hupomonē dalam Kristen, dan savlanut dalam Yudaisme) adalah fondasi spiritual yang mendalam.
Dalam Yudaisme kesabaran terhubung dengan iman kepada Tuhan dan keyakinan akan rencana ilahi. Kesabaran diperlukan dalam menanti janji-janji Tuhan dan menghadapi ujian hidup. Kisah-kisah para nabi sering kali menyoroti ketabahan mereka dalam menghadapi kesulitan.
Dalam Kekristenan sabar adalah salah satu buah Roh Kudus, sebuah kebajikan yang diajarkan dan dicontohkan oleh Yesus Kristus. Dalam surat-surat Paulus, kesabaran ditekankan sebagai kunci untuk bertahan dalam iman, menanggung penganiayaan, dan menunggu kedatangan Kerusulan Kristus. Ini adalah kesabaran yang aktif, yang menginspirasi tindakan kasih dan ketabahan.
Dalam Islam Ṣabar adalah salah satu nilai sentral, disebutkan berkali-kali dalam Al-Qur’an. Ini bukan hanya tentang menahan diri dari keluhan, tetapi juga tentang ketekunan dalam ketaatan, menahan diri dari maksiat, dan tabah dalam menghadapi musibah. Ṣabar adalah bukti keimanan seorang Muslim, dan Allah menjanjikan pahala besar bagi mereka yang bersabar.
Di berbagai adat-adat lokal, kesabaran sering kali terwujud dalam bentuk kearifan turun-temurun dan praktik sosial. Dalam masyarakat agraris, misalnya, kesabaran adalah keharusan mutlak dalam menunggu panen, memahami siklus alam, dan menghadapi ketidakpastian cuaca. Pepatah-pepatah kuno, cerita rakyat, dan ritual sering kali menyisipkan pesan tentang pentingnya kesabaran dalam menjaga harmoni komunitas dan individu.
Misal nilai “alon-alon asal kelakon” (pelan-pelan asal berhasil) di Jawa atau konsep “mangalah” (mengalah/memberi jalan) dalam budaya Minangkabau merefleksikan dimensi kesabaran yang mendalam.
Kesabaran di sini bukan hanya tentang menunggu, melainkan juga tentang kemampuan beradaptasi, fleksibilitas, dan kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan sesama dan alam.
Menariknya, kesabaran seringkali bukan hasil dari pelajaran formal, melainkan ditempa oleh keadaan tiba-tiba. Musibah, kehilangan, krisis finansial, atau penyakit tak terduga seringkali memaksa individu untuk menemukan reservoir kesabaran yang tidak mereka ketahui sebelumnya. Dalam momen-momen inilah, manusia dipaksa untuk melampaui batas-batas kemarahan, frustrasi, atau keputusasaan, dan secara instingtif mengembangkan kapasitas untuk menanti, bertahan, dan menerima. Ini adalah kesabaran yang lahir dari pengalaman pahit, sebuah kebijaksanaan yang diperoleh melalui luka dan cobaan.
Dalam novel “The Old Man and the Sea” karya Ernest Hemingway, karakter Santiago adalah personifikasi kesabaran. Ia berhari-hari berjuang melawan ikan marlin raksasa di tengah laut, menghadapi kelelahan, kelaparan, dan keputusasaan, namun tidak pernah menyerah. Kesabarannya adalah kunci kemenangannya, meskipun pada akhirnya kemenangan itu datang dengan pengorbanan. Hemingway seolah mengatakan, “manusia dapat dihancurkan tetapi tidak dikalahkan.”
Nelson Mandela menunjukkan kesabaran politik yang luar biasa. Bertahun-tahun dalam penjara–tubuh ditanam dalam tanah tinggal sisa kepala yang dijemur bahkan juga dikencingi sipir penjara, ia memegang teguh visinya tentang Afrika Selatan yang bebas dari apartheid. Kesabarannya bukan pasif, melainkan strategis dan gigih, sebuah penantian yang aktif untuk momen yang tepat guna mewujudkan perubahan revolusioner. Mandela yakin “sebuah pemenang adalah pemimpi yang tidak pernah menyerah.”
Bahkan Albert Camus dalam “The Myth of Sisyphus” secara implisit berbicara tentang kesabaran dalam menghadapi absurditas eksistensi. Meskipun Sisyphus dihukum untuk mendorong batu ke atas bukit hanya untuk melihatnya bergulir kembali, ia memilih untuk terus melakukannya dengan kesadaran penuh, menemukan makna dalam perlawanan yang terus-menerus. Ini adalah kesabaran yang eksistensial, penerimaan terhadap kondisi manusia tanpa menyerah pada keputusasaan.
Pada akhirnya, sabar adalah sebuah seni, sebuah tarian antara harapan dan kenyataan. Ia bukan berarti pasrah tanpa daya, melainkan ketenangan dalam penantian, ketabahan dalam perjuangan, dan kebijaksanaan dalam menerima. Ia adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan masa depan, memungkinkan kita bertahan dalam badai, dan menemukan kekuatan di tengah kerapuhan. Sabar adalah bukti bahwa, meskipun hidup seringkali tak terduga, kita memiliki kapasitas untuk menghadapinya dengan hati yang teguh dan jiwa yang damai.
Kisah Nabi Ayub A.S. sangat masyhur terjerembab dalam penderitaan yang tak terbayangkan. Tubuhnya dipenuhi luka bernanah, bau anyir mengusir siapa saja yang mendekat. Orang-orang meninggalkannya, bahkan sebagian keluarganya menjauh. Harta benda ludes, dan kehormatan seakan sirna. Namun, di tengah puing-puing derita itu, tak seucap keluh pun meluncur dari bibir mulianya. Ia tak bertanya “Mengapa aku?”, melainkan “Untuk apa ini semua?”.
Dalam diamnya yang mengharu biru, ia membenamkan diri dalam zikir, doa, dan kesabaran yang melampaui batas pemahaman manusia. Setiap luka adalah pengingat akan kebesaran Tuhan, setiap rasa sakit adalah penempa jiwa. Dan ketika fajar keajaiban menyingsing, bukan hanya kesehatan yang kembali, tetapi sebuah pelajaran abadi tentang keteguhan iman dan pasrah total yang membuat kita terisak kagum.
Stephen Hawking, diusia muda, saat dunia semestinya terbuka lebar baginya, ia divonis ALS, sebuah penyakit saraf yang secara progresif merenggut kendali atas tubuhnya. Dokter memvonisnya hanya beberapa tahun lagi. Namun, takdir berkata lain. Ia hidup lima dekade lebih lama, menjadi salah satu pemikir terbesar abad ini.
Tubuhnya adalah penjara, namun pikirannya bebas melanglang buana hingga ke ujung alam semesta. Setiap gerakan yang hilang, setiap kata yang tak terucap dari bibirnya, tak pernah melumpuhkan keingintahuannya. Ia berkomunikasi melalui suara sintetis, sebuah “suara” yang menjadi ikon kegigihan. Kesabaran Hawking adalah kesabaran seorang penjelajah batin, yang menemukan alam semesta dalam keterbatasan raganya. Ia menunjukkan bahwa bahkan ketika tubuh mengkhianati, jiwa dan pikiran dapat terus bersinar terang, menjadi inspirasi yang tak terhingga bagi mereka yang merasa tak berdaya. Kita terharu menyaksikan bagaimana ia menembus dinding keterbatasan dengan kekuatan murni akal budi.
Kisah Frida Kahlo, sang pelukis dengan jiwanya yang penuh warna dan raganya yang penuh luka. Sejak kecil, polio menggerogoti kakinya, lalu kecelakaan bus yang mengerikan menghancurkan tulang belakangnya. Puluhan operasi, korset penyangga yang menyiksa, dan rasa sakit kronis adalah teman setianya. Hidupnya adalah kanvas penderitaan.
Namun, di tengah semua itu, Frida melukis. Ia melukis rasa sakitnya, patah hatinya, dan perjuangan hidupnya dengan kejujuran yang brutal namun indah. Setiap sapuan kuas adalah tangisan sekaligus tawa. Kesabaran Frida adalah kesabaran seorang seniman yang mengubah penderitaan menjadi keindahan. Ia tidak membiarkan luka-lukanya mendefinisikan dirinya sebagai korban, melainkan sebagai pejuang yang menemukan makna dan ekspresi dalam setiap rasa sakit. Lukisannya adalah cerminan jiwanya yang tak pernah menyerah, membuat kita menghela napas dan mengagumi daya tahannya.
Sejarah mencatat bahwa Tan Malaka mengalami berbagai masalah kesehatan sepanjang hidupnya, yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh kondisi hidupnya yang serba pelarian, penahanan, dan perjuangannya. Saat berada di Belanda pada tahun 1915-1916, Tan Malaka terserang pleuritis (radang selaput dada) selama beberapa bulan. Kondisi ini kemudian berlanjut menjadi radang paru-paru parah di Semarang pada awal tahun 1921. Iklim dingin di Belanda disebut-sebut tidak bersahabat dengan kesehatannya dan menjadi pemicu kemerosotan ini. Sebagai seorang revolusioner yang terus bergerak dan bersembunyi dari satu negara ke negara lain, Tan Malaka seringkali hidup dalam kondisi yang sulit, kekurangan uang, dan tidak stabil. Ini tentu berdampak pada kondisi fisiknya secara keseluruhan. Pernah disebutkan ia meminta izin pulang ke Hindia Belanda karena sakit dan kekurangan uang.
Meskipun Tan Malaka sering sakit-sakitan, penyebab kematiannya bukanlah karena penyakit alamiah. Sejarah dengan jelas menyebutkan bahwa Tan Malaka dieksekusi mati dengan ditembak oleh pasukan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya pada 21 Februari 1949 di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, tanpa melalui proses peradilan. Perintah penembakan ini diduga datang dari Letnan Dua Sukotjo.
Pun dengan Jenderal Besar Soedirman. Kisah kesabarannya di tengah penyakit TBC kronis adalah salah satu epos paling mengharukan dalam sejarah bangsa. Di saat-saat paling genting perjuangan mempertahankan kemerdekaan, ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II, tubuh Soedirman digerogoti penyakit paru-paru yang parah. Ia batuk darah, demam tinggi, dan paru-parunya nyaris tak berfungsi.
Namun, alih-alih menyerah pada penyakit dan beristirahat, Soedirman memilih untuk memimpin perang gerilya. Ia ditandu menembus hutan belantara, melintasi sungai, dan mendaki gunung, dalam keadaan fisik yang sangat lemah. Setiap goyangan tandu, setiap napas yang tersengal, adalah perjuangan hidup dan mati. Tetapi tekadnya tak pernah padam. Kesabaran Jenderal Soedirman adalah kesabaran seorang pemimpin yang meletakkan nasib bangsa di atas penderitaan pribadinya. Ia menunjukkan kepada prajurit dan rakyatnya bahwa semangat juang tak mengenal batas fisik. Nyalinya untuk terus memimpin, meskipun di ambang kematian, adalah api yang menyulut semangat perlawanan, sebuah kisah kepahlawanan yang membuat kita terisak haru dan bangga.
Mahatma Gandhi, tak dihantam penyakit yang kasat mata seperti Nabi Ayub, namun tubuhnya seringkali menjadi medan perang atas nama keadilan. Ia memilih puasa sebagai senjatanya, sebuah tindakan yang berisiko tinggi dan seringkali nyaris merenggut nyawanya. Berhari-hari tanpa makanan, tubuhnya melemah, napasnya tersengal, dan kesadaran terkadang menipis.
Bagi banyak orang, ini adalah siksaan. Tapi bagi Gandhi, itu adalah ritual penyucian, penempaan jiwa dan raga. Ia membiarkan lapar menggerogoti perutnya, kelemahan melumpuhkan anggota badannya, semua demi menyuarakan kebenaran. Rasa sakit fisik itu tak pernah memadamkan kobaran semangatnya. Justru, ia menggunakannya sebagai bahan bakar untuk memperkuat tekadnya. Kesabaran Gandhi adalah kesabaran yang digerakkan oleh prinsip dan tujuan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ia mengajari kita bahwa kadang, penderitaan yang kita pilih sendiri pun, jika dilandasi niat luhur, bisa menjadi tangga menuju puncak kebijaksanaan dan keberanian yang mengharukan.
Kisah-kisah ini, dan masih banyak lagi yang tak terungkap, adalah bukti bahwa kesabaran bukanlah kepasrahan yang hampa, melainkan sebuah kekuatan aktif.
Seringkali kita normatif memahami makna kesabaran. Kita mengira, bersabar berarti menahan diri dari segala bentuk keluhan, menelan setiap tetes air mata, dan memasang wajah tabah di hadapan badai kehidupan. Namun, keluhan bukanlah indikasi ketidaksabaran, dan tangisan bukanlah tanda kelemahan. Sejatinya, mengeluh dan menangis adalah bagian alami dari proses kemanusiaan kita dalam menghadapi cobaan. Mereka adalah ekspresi jujur dari hati yang terluka, jiwa yang terbebani, atau raga yang lelah.
Kesabaran yang hakiki bukanlah tentang menekan emosi, melainkan tentang perjalanan mengambil makna dari setiap ujian. Ia adalah proses meresapi, memahami, dan akhirnya menerima kenyataan, seberat apa pun itu. Ini adalah tentang mencari hikmah di balik setiap peristiwa, bahkan di tengah kepedihan yang mendalam. Sebuah perjalanan yang memungkinkan kita melihat bahwa di balik setiap kesulitan, ada pelajaran yang berharga, ada kekuatan yang tersembunyi, dan ada pertumbuhan yang menanti.
Hasil dari kesabaran yang tulus adalah ketekunan yang tak kenal menyerah. Ia adalah daya dorong untuk terus melangkah, bahkan ketika jalan terasa buntu. Kemudian, lahirlah ketenangan jiwa, sebuah kedamaian yang tak tergoyahkan. Ketenangan ini bukanlah berarti tidak merasakan apa-apa, melainkan kemampuan untuk tetap fokus dan jernih di tengah badai. Dan puncaknya adalah kemenangan – bukan selalu dalam arti mencapai apa yang kita inginkan, tetapi kemenangan untuk tetap setia pada takdir, menerima setiap garis nasib dengan lapang dada, dan menjalani hidup dengan keikhlasan. Kemenangan adalah sikap luar biasa dari orang-orang biasa yang berupaya mengubah derita menjadi kekuatan, mengubah kekalahan menjadi pembelajaran, dan mengubah keputusasaan menjadi harapan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah seorang Muslim ditimpa suatu musibah baik berupa penyakit atau lainnya melainkan Allah akan menghapuskan dengan sebab musibah itu dosa-dosanya, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits lain juga menyebutkan:
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, seluruh urusannya adalah kebaikan baginya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa musibah, ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim)
Dharma Setyawan

Discussion about this post