Ketika pemberdayaan dikerjakan komunitas, apakah kesadaran kolektif harus tumbuh cepat? Bagaimana menelisik anggota komunitas yang masih kurang memahami kerja-kerja sub-kultur pemberdayaan? Pertanyaan ini penting untuk melihat bagaimana pendidikan pemberdayaan bekerja secara konsisten dan terukur. Basis kesadaran tidak hanya menghitung basis material. Dalam tubuh pemberdayaan material hanyalah awal konsolidasi komunitas.
Perjalanan nilai yang menumbuhkan; karakter, integritas, identitas, budaya, sejarah, sampai peradaban membutuhkan bahan baku pengetahuan. Pemberdayaan sebagai kritik pembangunan adalah proses melawan kultur dengan sub-kultur. Ada fenomena sosial yang dirasakan tidak normal. Ada kebijakan pembangunan yang meminggirkan generasi bahkan merusak alam. Ada pencaplokan kapital oleh segelintir orang dengan sangat keji.
Alasan-alasan tidak normal itulah yang mendorong pemberdayaan punya kesadaran kritis. Sekali lagi, basis material hanyalah awal, setelahnya basis mental dan spiritual yang harus diperjuangkan bukan sekadar difahami. Ketika komunitas petani menyerah dengan pola-pola pengrusakan tanah misalnya; yang dibutuhkan adalah kesadaran kritis untuk terus belajar, belajar dan bergerak. Meminjam istilah Tan Malaka,”terbentur, terbentur dan terbentuk.” Ketika buruh-buruh pabrik dipinggirkan hak-haknya oleh korporasi, harus ada serikat kolektif untuk menuntut hak kemanusiaan yang diingkari.
Melawan dengan basis kesadaran adalah proyek abadi pemberdayaan. Tidak ada pemberdayaan yang mengingkari proses pendidikan berbasis komunitas. Jika mendaku pemberdayaan namun tidak ada upaya mentransformasi pengetahuan kritis itu bukan pemberdayaan, jangan-jangan itu sedang memperdayai. Pemberdayaan punya adagium,”jika jalannya sulit itu yang benar dalam jalan perjuangan.”
Hanya dengan sikap kritis terhadap kultur yang ada, kita semua punya pertanyaan-pertanyaan penting bukan sekadar ingin mendapat jawaban, tapi menguji sejauh mana rasa kritis dan kualitas pengetahuan, pergerakan dan pengorbanan komunitas semakin hari semakin meningkat. Mereka yang berhenti belajar, akan terus tertinggal dan tidak percaya lagi kekuatan kolektif. Mereka yang menang material pragmatis sesaat tidak akan mampu mempertahankan “nilai” sampai ke arus peradaban.
Pemberdayaan sejatinya menabung banyak hal; pengetahuan sebagai asset non fisik dapat berkembang menjadi cerita perjalanan nilai yang melampaui basis material. Pertarungan nilai tidak diukur dari arena semata, tapi sejauh mana konsistensi kader-kader pemberdayaan terus memperjuangkan kepentingan bersama. Ketika kita bicara sustainable dalam isu lingkungan hidup, yang harus punya karakter keberlanjutan adalah manusia itu sendiri bukan alam. Alam punya cara tersendiri memperbaiki diri sedangkan manusia yang tidak sustainable akan terus merusak alam.
Apakah kita harus kecewa terhadap anggota komunitas yang masih pragmatis? Yang sulit diajak berjuang atau berpikir tentang pertanyaan-pertanyaan kritis? Jawaban pastinya adalah pemberdayaan harus terus menanamkan pengetahuan kritis, bahwa kerja-kerja pemberdayaan bukan sekadar merebut material tapi proses melawan kultur dengan kerja-kerja sub-kultur. Bahkan saat pemberdayaan sudah pada posisi strategis merebut banyak kapital untuk kepentingan masyarakat, wajib ada sikap kritis untuk membenahi dan terus memberi energi perlawanan.
Pembusukan pemberdayaan dimulai dengan ketergantungan pada sosok, satriopiningit, tokoh mesias, atau bentuk-bentuk kepahlawanan individual. Bahwa kemajuan peradaban bukan tentang kehebatan individu, tapi kerja kolektif atas kesadaran kolektif pengetahuan. Mengapa politik kita selalu terjebak pada populisme? Tentu ini soal demokrasi kita yang terjebak pada system padat modal bahkan menumpulkan tumbuhnya pengetahuan dan gerakan partisipatif. Pertanyaan akhir untuk kita semua, kapan gerakan pemberdayaan akan menjadi arus utama dalam tradisi perebutan kekuasaan?
Dharma Setyawan


Discussion about this post