Ketika mendengar demokrasi desa, penting melihat lebih dalam peran generasi muda. Banyak sekali cerita menarik tentang kontestasi jabatan RI 4 setiap 6 tahun sekali ini. Mereka akan memilih pemimpin Desa yang akan menjalankan periode pemerintahan kampung, dengan orientasi dana desa atau dengan gagasan dan gerakan pemberdayaan. Sudut pandang yang paling menarik adalah saat anak-anak muda mulai berbicara tentang kualitas para calon kepala desa.
Banyak calon siap menang tapi tidak siap untuk memimpin, belajar, inovatif dan bergerak transparan. Bisa kita tebak mayoritas mereka mengincar dana desa yang kelihatannya begitu besar padahal setelah menjabat banyak habis untuk kegiatan rutin gaji aparat dan pembangunan desa yang tidak seberapa. Jadi kalau kepala desa pikirannya minimalis, 6 tahun tidak mengubah banyak hal. Bahkan pada masa covid 19 anggaran desa terserap untuk bantuan langsung tunai sampai 40%. Anggaran desa juga sulit jika BUMDes tidak berjalan dan makin terserap untuk menggaji semua aparat dari Kepala Desa sampai tingkat RT dan RW.
Makna demos (rakyat) dan kratos (kekuatan/kedaulatan) dalam Demokrasi desa semakin diingkari seiring penggunaan dana desa yang tidak dicerna secara kreatif. Sisi positifnya tentu juga ada, tapi tulisan ini hendak membahas bagaimana kesalahpahaman aparat dan masyarakat dalam memandang anggaran desa. Tidak banyak kepala desa yang bisa diajak berpikir lebih kreatif di luar anggaran desa, seolah dia paling pandai dan paling mengerti tentang bagaimana anggaran desa didayagunakan. Jangankan bicara ekonomi desa, bicara pendidikan kreatif SDM desa, mereka kurang peduli dan dengan drama mengeluh masyarakat susah diajak maju. Musuh terbesar pemberdayaan adalah diri kita sendiri. Merasa paling pandai, merasa paling bisa dan merasa sudah banyak berkorban.
Pengalaman kami tim sekolah desa bertemu kepala desa, keliling desa dan melatih mereka dalam sekolah desa, hampir dipastikan mereka buntu atau tidak punya ide menggerakkan masyarakat dalam pembangunan apalagi mengajak anak-anak muda. Persoalan utama kepala desa tidak mengerti teknologi. Kepala desanya manusia jadul, takut dengan LSM, dan memang punya problem tidak transparan. Mulai dari pentingnya media sosial desa, website, teknologi pelayanan masyarakat, kepala desa masih menganggap hal ini urusan sepele. Belum bicara substansi bagaimana ekonomi desa dijalankan.
Lalu apa yang terjadi? Selama 6 tahun tidak ada hal signifikan yang dikerjakan secara unik, prestasi, mengesankan, dan mengangkat citra kepala desa menjadi tokoh berprestasi. Yang terjadi, kepala desa tidak menyadari mayoritas warga membicarakan kepala desa di belakang layar. Desa tidak dikendalikan dengan ide tapi dengan kucing-kucingan program yang biasanya tidak melibatkan orang kreatif di desa. Jika melibatkan tentu ada kemajuan dan sumber anggaran desa tidak ada apa-apanya dibandingkan hasil inovasi orang-orang desa itu sendiri.
Kemampuan kepala desa menjadi penggerak, membangun tim dalam inovasi desa butuh orang-orang muda yang mengerti inovasi bisnis desa, media promosi desa dan yang penting adalah pemberdayaan dengan melibatkan banyak orang untuk terlibat dengan tujuan kesejahteraan ekonomi. Saya melihat ada orang muda sukses di desa tapi dibiarkan saja oleh kepala desa, tidak diajak rembug membangun desa. Malah yang terjadi banyak orang-orang tua kurang panggung ikut cawe-cawe pilkada desa dan jika beruntung menang, tidak sedikit yang punya niat memasukan anak mudanya yang nganggur jadi bagian dari aparat desa.
Jika ada komunitas desa dari kalangan pemuda progesif datang ke sekolah desa Payungi saya punya semangat 2 kali lipat untuk menemani diskusi. Saya yakin dari dalam jiwa mereka punya ketulusan, peduli terhadap desa dan punya semangat ingin maju tapi belum tahu caranya. Jauh-jauh berangkat subuh dari Lampung Barat, Lampung Utara, Way Kanan, Tulang Bawang Barat, Mesuji dan bahkan jauh dari provinsi lain, mereka mencari ide bagaimana desanya maju. Anak-anak muda punya dua kekuatan yaitu fisik yang baik dan waktu yang berlimpah. Kepala desa harus menyadari anak muda adalah potensi, mereka adalah pemimpin selanjutnya untuk diberdayakan, diberi ruang, diajak berpikir merdeka, bergerak kreatif, kelak desa akan mengalami banyak kemajuan. [[
Discussion about this post