Lahirnya ekonomi gig secara tidak langsung telah memberikan stimulus dan warna baru di dalam perkembangan dunia kerja. Berada di tengah-tengah gelombang arus informasi, komunikasi, dan teknologi global, ekonomi gig hadir sebagai konduktor untuk mengoneksikan antara pencari kerja dan korporasi berbasis platform. Dengan harapan, melalui sistem ini penyerapan tenaga kerja bisa dilakukan secara masif sehingga angka pengangguran dapat ditekan dan secara universal akan mendongkrak perekonomian masyarakat. Namun dalam realitasnya, ekonomi gig tidak selalu menyuguhkan berita baik, sebaliknya ia kerap memberikan pengalaman buruk bagi para pekerja (buruh) yang bekerja dalam sistem ini – pekerja gig.
Secara umum, ekonomi gig didefinisikan sebagai bentuk ekonomi yang membayar pekerja berdasarkan jumlah barang atau layanan yang dikerjakan − bukan berdasar waktu kerja. De Stefano mengartikan kerja gig sebagai kerja kasual, borongan per proyek, dan dengan kontrak jangka pendek. Dibandingkan dengan sistem kerja lainnya, kerja gig mampu memberi fleksibilitas, waktu luang, tidak mengekang pekerja, dan bisa menyelaraskan jenis pekerjaan dengan minat pekerja. Hal ini juga dikarenakan sifat dari kerja gig yang cenderung memberikan kebebasan kepada pekerja dan tidak mengikat mereka – pekerja dan korporasi − dalam kontrak jangka panjang. Sehingga tidak ada beban (tanggung jawab) yang besar bagi pekerja gig maupun korporasi.
Selanjutnya, menurut Woodcock & Graham, model bisnis dalam ekonomi gig terbentuk setidaknya oleh tiga faktor yaitu infrastruktur teknologi (platform, konektivitas massa, digitalisasi), sosial (perilaku dan preferensi konsumen), dan ekonomi-politik (fleksibilitas, regulasi negara, kekuatan pekerja, globalisasi dan jaringan outsourcing). Faktor-faktor inilah yang saling dikoneksikan dan menjadi motor penggerak dari ekosistem ekonomi gig. Dengan adanya infrastuktur teknologi yang terus berkembang serta adanya pergerakan sosial dan dukungan melalui kebijakan ekonomi-politik, tentu akan semakin membuat pergerakan dari sistem ini tumbuh lebih dinamis dan adaptif di tengah perubahan-perubahan pada sektor ekonomi yang sering terjadi secara random.
Terlebih di era digitalisasi seperti saat ini, ekonomi gig menjadi sebuah sistem yang memberikan terobosan baru di dalam dunia kerja. Dalam sistem ini, pekerja memiliki fleksibilitas dan kebebasan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Artinya, kerja-kerja mereka dapat dilakukan di mana pun dan dengan waktu yang cenderung fleksibel – bisa dilakukan kapan pun tanpa terikat oleh aturan jam kerja. Mereka bisa mengatur ritme pekerjaannya tanpa harus mendapatkan pressure ketat dari perusahaan. Sebaliknya, pihak perusahaan juga tidak memiliki tanggung jawab yang besar kepada mereka, pasalnya mereka telah diberikan kebebasan dalam mengerjakan project atau tugas-tugasnya. Disamping, karena mereka (pekerja gig) diupah berdasarkan satuan hasil, bukan satuan jam, di mana mereka dibayar setelah produk/jasa atau project yang dikerjakannya telah selesai. Contoh perusahaan platform seperti Go-Jek, Grab, Maxim, dan Uber yang memberikan keleluasaan kepada mitranya (driver ojol) untuk mengatur jam kerjanya sendiri.
Kini, disrupsi yang semakin cepat dan adanya desakan dari era digitalisasi, di mana segala sesuatu ditekan untuk terus dapat berinovasi (memunculkan hal-hal baru), memberikan akses pelayanan yang mudah dan cepat, serta tuntutan untuk memenuhi kebutuhan publik yang sangat kompleks, akhirnya turut mendorong para pengusaha platform berfikir lebih imajinatif. Mereka berupaya melakukan berbagai inovasi fitur dan pengembangan platform yang mereka kelola agar mampu bersaing dengan para kompetitor. Disamping juga untuk mengasah insting dan membaca ulang peluang-peluang usaha yang ada di masa depan. Apalagi dengan adanya tsunami disrupsi yang terus menggerus perusahaan-perusahaan konvensional dan mendorong munculnya perusahaan baru berbasis platform turut mambuat iklim persaingin semakin ketat untuk bisa mendominasi market. Hal inilah yang membuat para pengusaha platform melakukan recruitment para pekerja baru untuk merealisakan imajinasinya sekaligus membangun team agar perusahaannya tetap survive.
Pesatnya pertumbuhan perusahaan berbasis platform turut memberikan dampak pada persaingan dunia usaha yang semakin ketat. Untuk menjaga keberlanngsungan bisnis, dominasi terhadap pasar, akumulasi, dan meraup profit besar, mereka melakukan perekrutan pekerja lepas dengan sistem kontrak kerja yang bersifat kasual, borongan per proyek, dan dengan kontrak jangka pendek. Hal ini dilakukan untuk menekan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, pasalnya jika mereka merekrut pekerja tetap, maka akan ada beban besar yang harus mereka penuhi, seperti jaminan sosial, fasilitas kantor, tunjangan jabatan, biaya listrik (karena mereka bekerja di kantor), biaya makan, dan lain sebagainya. Sebaliknya, dari sisi pekerja, sistem ini cenderung eksploitatif karena beban tersebut sepenuhnya ditanggung oleh mereka sendiri. Sejalan dengan keterangan Fathimah Fildzah Izzati, Rara Sekar Larasati, Ben K.C. Laksana, dan Kathleen Azali dalam tulisannya berjudul ‘Pekerja Industri Kreatif’ yang memaparkan beberapa kondisi rentan yang sering dialami oleh pekerja industri kreatif, di mana notabene mereka banyak bekerja sebagai pekerja gig. Kondisi rentan ini meliputi kontrak kerja kasual, ketiadaan jaminan sosial, jam & beban kerja yang panjang dan berlebih, upah murah dan ongkos tersembunyi, serta ketiadaan kepastian karier.
Sejauh ini, animo anak-anak muda untuk masuk ke dalam sistem ekonomi gig masih tinggi. Setidaknya terdapat 49,3 persen anak muda usia 21-30 tahun dan 26,6 persen usia 30-40 tahun memilih menjadi pekerja lepas – pekerja gig. Sayangnya, harapan mereka sebagai pekerja gig tidak berbanding lurus dengan realita yang terjadi. Karena sebagian besar dari mereka saat ini mengalami eksploitasi dan masih dibayar dengan upah murah (underpaid), waktu kerja di luar batas normal (overtime), kerja berlebih (overwork), tidak memiliki perlindungan sosial, serta ketiadaan jaminan pendapatan layak dalam jangka panjang. Menurut Arif Novianto, Yeremias T. Keban, & Ari Hernawan, kondisi tersebut terpaksan harus mereka terima dan tidak ada larangan dari pemerintah, pasalnya sebagian besar pekerja gig diklasifikasikan di luar hubungan kerja buruh-pengusaha — yaitu dalam hubungan kemitraan atau hubungan kerja tanpa kontrak formal. Berbeda dengan hubungan kerja buruh-pengusaha yang sudah diatur terkait berbagai hak pekerja, dalam hubungan kemitraan, persoalan pengaturan kerja dan pembagian hasil kerja masih belum diatur, sehingga cenderung diserahkan pada mekanisme pasar.
Ekonomi gig pada akhirnya menjadi sebuah ekosistem kerja kapitalis, di mana kaum pekerja terus dieksploitasi sebagai alat pengumpul kekayaan (akumulasi sumber daya). Tenaga dan kreativitas para pekerja gig ini terus diperas melalui ilusi kerja-kerja gig yang mencitrakan kebebasan. Padahal realitanya, hak-hak mereka sebagai buruh semakin tercerabut dan melangalami dekradasi eksistensi. Sebaliknya korporat semakin diuntungan dengan akumulasi pendapatan yang tinggi karena beban pekerja dipangkas seminimal mungkin oleh mereka. []
Discussion about this post