Perempuan menjadi pihak yang paling terdindas dari praktik kekerasan yang marak terjadi. Tidak hanya sekedar kekerasan fisik, namun mereka juga mengalami kekerasan psikis, ekonomi hingga seksual. Kondisi ini diperparah dengan minimnya upaya preventif dari penegaks hukum (rasa aman bagi mereka – perempuan), ruang pengaduan yang minim, penegakan hukum yang kurang efektif atau cenderung kurang berpihak kepada korban, hingga rasa traumatik yang membuat korban takut untuk melapor. Sehingga, mengakibatkan berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan sukar untuk dideteksi dan dalam penyelesaiannya kerap menemui jalan buntu.
Secara garis besar, kekerasan yang dialami oleh perempuan sebenarnya tidak hanya disebabkan karena kuasa nafsu seksual dari maskulinitas laki-laki, namun kondisi ekonomi yang lemah dalam keluarga juga menjadi alasan perempuan rentan mengalami eksploitasi. Kondisi ekonomi keluarga yang cenderung serba kekurangan (miskin) menjadi alasan utama tindak KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang menimpa perempuan sering terjadi, bahkan beberapa sampai berujung pada kasus perceraian. Keadaan inilah yang kemudian akan berimbas pada istri, di mana ia akan memikul beban ganda. Mereka akan menjadi kepala keluarga dan memikul beban untuk menafkahi diri mereka dan anaknya.
Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2021 terdapat 338.506 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terbagi dalam tiga ranah yaitu ranah personal, ranah publik dan ranah negara (CATAHU; 2022). Ranah personal menjadi ranah kekerasan paling tinggi mencapai 99,09 persen atau sebanyak 335.399 kasus, di mana korban mengalami berbagai macam bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi. Untuk kasus KDRT khususnya, dilakukan oleh suami, pasangan, atau angota keluarga lainnya. Mereka (korban) KDRT mengalami kekerasan berlapis, mulai dari kekerasan psikis (ancaman termasuk ancaman pembunuhan, pemaksaan untuk meneken akte cerai di bawah tangan yang merupakan kejahatan dalam perkawinan, perselingkuhan), kekerasan fisik (pukulan dan tamparan), hingga penelantaran. Menurut Kurnia Muhajarah, kasus KDRT tidak hanya dialami Ibu rumah tangga sebagai korban, tetapi anak perempuan juga kerap mengalami kekerasan dari orang tuanya – baik dari Ayahnya maupun Ibunya (Kurnia Muhajarah; 2016). Artinya, kasus KDRT dengan korban anak, perempuan tidaknya menjadi korban, terkadang mereka juga menjadi pelaku.
Dalam CATAHU (Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan) 2022, Komnas Perempuan melaporkan bahwa telah menerima 2.527 aduan kasus kekerasan di ranah personal yang terbagi dalam 3 isu utama, meliputi KTI (Kekerasan Terhadap Isteri), KDRT Berlanjut (dilakukan oleh mantan suami), dan KDP (Kekerasan Dalam Pacaran). Dari laporan Komnas Perempuan tersebut terlihat bahwa perempuan kerap mendapatkan pelecehan dari laki-laki. Hal ini juga menandakan bahwa rasa aman bagi kaum perempuan masih minim, pasalnya kekerasan berbasis gender masih sering terjadi (Penny Naluria Utami; 2016).
Pernikahan dini menjadi salah satu faktor besar yang menjadi titik awal kekerasan yang terjadi kepada perempuan dalam rumah tangga (domestic violence). Keadaan mental (psikologi) yang belum matang dan ekonomi yang belum kuat akhirnya menciptakan benih KDRT yang berujung pada perceraian dini (KPAI; 2017). Selanjutnya, yang sangat mengkhawatirkan yakni ketika seseorang perempuan menjadi kepala keluarga dengan kondisi ekonomi yang cukup sulit, biasanya anak-anaknya cenderung mengalami kondisi kesehatan yang kurang (stunting dan gizi buruk), terlantar, mengalami gangguan mental, kesulitan mengakses pendidikan, dan yang paling parah banyak dari mereka yang terjerumus dalam dunia prostitusi. Keadaan inilah yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan struktural yang melekat dalam kehidupan sosial mereka. Pasalnya, mereka tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak, minimnya akses terhadap sumber daya, tekanan mental dari hegemonik kelas sosial menengah atas, hingga akhirnya mereka mengambil jalur instan bekerja sebagai tunasusila agar tercukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga (Ibu dan adik-adiknya).
Kasus di Indramayu bisa dijadikan contoh bagaimana kondisi ekonomi turut menjerumuskan perempuan dalam dunia prostitusi dan human trafficking (Watchdoc Documentary; 2022). Indramayu menjadi salah satu kabupaten yang menjadi lokus prostitusi di Jawa Barat, dan banyak anak-anak di bawah umur menjadi tunasusila – PSK (Pekerja Seks Komersil). Meraka terpaksan melakukan pekerjaan tersebut karena kondisi ekonomi keluarga yang lemah dan kebutuhan hidup keluarga yang terus mendesak mereka (Tempo; 2020). Mirisnya, pekerjaan sebagai tunasusila sangat beresiko bagi kesehatan mereka, selain karena mereka masih di bawah umur dan adanya tuntutan dari mucikari (mereka dipaksa untuk mengahabiskan voucher melayani pelanggan dan wajib menyetor uang), mereka juga sangat rawan tertular penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Asisten Administrasi Pembangunan dan Kesra Setda kabupaten Indramayu, Maman Koestaman mengungkapkan hingga tahun 2020 penderita HIV/AIDS di Indramayu mencapai 3.920 orang (Diskominfo Indramayu; 2020). Ditambah maraknya perdagangan anak di bawah umur ke luar daerah untuk dijadikan tunasusila. Seperti yang diamali salah satu anak perempuan berumur 14 tahun di Indramayu yang korban perdagangan orang yang dikirim ke Papua. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan bagi anak-anak muda di sana, sehingga perlu adanya penanganan sedini mungkin agar kasus yang serupa tidak terulang kembali, baik di Indramayu maupun di daerah lain.
Meskipun UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah direvisi menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019, tetap saja angka pernikahan dini masih tinggi. Tercatat sekitar 1.220.900 anak Indonesia melakukan perkawinan dini (Laporan Puskapa; 2020). Hal inilah tentu perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah agar kebijakan ataupun regulasi yang dibuat bisa berlaku secara efektif. Sejauh ini, undang-undang tersebut masih memiliki calah bagi mereka untuk melakukan pernikahan dini. Padahal, pernikahan dini inilah yang menjadi penyebab rawannya terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pernikahan dini berpotensi mengahadirkan keadaan ekonomi keluarga yang tidak stabil (lemah) sehingga mengakibatkan tindak KDRT dan perceraian dini. Jika tidak ada upaya serius dari pemerintah dan masyarakat secara tepat, maka kasus kekerasan terhadap perempuan akan terus merajalela. []
Discussion about this post