Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.
(Seno Gumira Ajidarma)
Menyampaikan sebuah pesan ke orang lain butuh medium. Verba volant, scripta manent kalimat latin yang berarti “Kata-kata lisan terbang, sementara tulisan menetap.” Akhir-akhir ini menulis mulai gagap digeluti oleh milenial. Featur media sosial kita menunjukkan trend singkat, padat dan jelas. Tiktok, reels Instagram dan FB sampai short Youtube. Tidak ada yang salah, tapi generasi sebelumnya tentu punya kemampuan kesabaran lebih.
Tradisi membaca, mencatat, menuliskan gagasan, memahami kedalaman kata dan memaknai diksi dengan seksama adalah sikap langka saat ini. Menulis bukan lagi hasil proses pengendapan atas hasil bacaan, refleksi berpikir dan narasi cerita mengandung sastra. Jika tulisan tidak lagi menyentuh hati, gagasan tidak lagi menggerakkan, imajinasi tidak menghasilkan inovasi, kemana perjalanan kata bermuara?
Foto dan video reels memang menarik sangat cepat, dari viral satu ke viral lainnya. Namun kata tetap tetap punya daya magis. Video panjang dengan narasi investigasi membawa manusia pada kesadaran kritis. Tulisan penuh makna akan menarik manusia pada frekuensi kebaikan yang sama. Kata dalam bentuk pidato, khotbah, orasi, opini, cerpen, puisi, buku, kitab akan kekal membawa manusia pada alam berpikir radikal (mengakar).
Kata hadir bukan untuk membangun trend. Kata memikat bukan untuk mencari follower. Kata memukau bukan karena tujuan viral. “Kata-kata baik bisa pendek dan mudah diucapkan, tetapi gemanya benar-benar tidak ada habisnya (Bunda Teresa).” Orang bisa berkata apa saja, tapi memilih kata yang berkualitas perlu latihan tanpa batas. Jika kita gagal membangun ceri(t)a, jangan harap banyak hati akan terbuka.
Dharma Setyawan
www.payungi.org
Discussion about this post