Fenomena kekerasan terhadap perempuan (violence against women) menjadi isu publik yang sering dikulik di berbagai ruang, baik ruang akademisi (kampus), pemerhati perempuan (komunitas) maupun media-media arus utama. Bahkan isu ini sudah menjadi wacana dan gerakan transnasional. Pasalnya, isu terkait kekerasan terhadap perempuan merupakan pokok perjuangan dari gerakan feminisme internasional. Apalagi, perjuangan para aktivis feminisme internasional tersebut telah memperoleh dukungan dari PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) melalui Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) pada tahun 1979. Sehingga, perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan kesetaraan di ruang-ruang sosial semakin menemukan titik terang.
Perjuangan kaum feminis semakin mendapatkan dukungan setalah PBB juga mengeluarkan dekelarasi tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan (United Nations Declaration on the Elimination of Violence against Women) pada tanggal 20 Desember 1993. Melalui deklarasi tersebut PBB mengakui bahwa setiap perempuan berhak untuk menikmati kesetaraan dan perlindungan sebagai bagian dari hak asasinya sebagai manusia serta berhak untuk memperoleh kemerdekaan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hak-hak sipil, dan bidang-bidang lainnya (Lalu Fadlurrahman; 2014).
Robin Morgan berpendapat bahwa sejarah (history) adalah kontruksi laki-laki sedangkan yang dibutuhkan perempuan adalah herstory. Menurutnya, herstory sebagai sejarah yang terpisah dan di luar tidak hanya menyerahkan seluruh sejarah dunia kepada laki-laki, namun berpotensi menyiratkan bahwa perempuan secara universal telah ditipu, dibungkam, dan dirampok dari semua agensi (Morgan dalam Mohanty: 2022). Sedangkan Jerome Skolnick mendefinisikan tindak kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah makna yang ambigu, yang dibangun melalui proses politik (Jerome Skolnick dalam Harkristuti Harkrisnowo; 2000). Artinya, kekerasan terhadap perempuan merupakan ketimpangan historis hubungan kekuasaan di antara perempuan dan laki-laki yang mengakibatkan subordinasi, alienasi, marginalisasi dan diskriminasi terhadap mereka − kaum perempuan – sehingga upaya-upaya tersebut harus dihapuskan.
Keberadaan perempuan yang sering digolongkan sebagai second class citizens di berbagai negara harus diubah. Hak-hak mereka sebagai manusia untuk hidup setara harus ditegakkan, pada ruang-ruang sosial kehadiran kaum perempuan harus diterima dengan keberagaman latar belakang yang dimilikinya (ras, kelas, agama, budaya, dan negara). Hal yang tidak kalah penting yaitu bagaimana mentransformasi narasi-narasi terkait isu kesetaraan gender menjadi sebuah gerakan aplikatif. Artinya, upaya untuk mewujudkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki tidak hanya berhenti pada wacana saja, namun juga harus bersifat aplikatif − bisa dibumikan atau direalisasikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Sehingga, berbagai macam diskriminasi, kekerasan (fisik, psikis, ekonomi, dan seksual), dan eksploitasi terhadap perempuan di dunia bisa dihapuskan.
Kekerasan terhadap perempuan notabene telah menjadi isu global yang sejak lama mengakar menjadi permasalahan basic dihampir setiap negara di dunia. Perbedaan ras, budaya, agama, kelas hingga pilihan politik kerap mendasari terjadinya tindak kekerasan ini. Jane Roberts Chapman mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan telah terjadi pada lintas budaya dan negara.’ Dari sembilan puiuh negara yang ia teliti, selalu ditemukan family violence (kekerasan dalam keluarga) yang menimpa perempuan sebagai korbannya. Meskipun berbagai deklarasi telah digelorakan di berbagai negara, seperti Vienna Declaration, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (1979), Declaration on the Elimination of Violence Against Women (1994), dan Beijing Declaration and Platform for Action (1995), namun sejauh ini praktik rasisme, diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum feminis masih sering terjadi. Bahkan, tidak hanya di belahan bumi Selatan, namun juga di bumi Utara (negara-negara maju – Amerika Serikat dan Eropa).
Merefleksikan gerakan para aktivis feminis yang memperjuangkan hak-hak kesetaraan gender lintasnegara harus di lakukan oleh kaum perempuan di dunia. Mereka harus menyadari bahwa perjuangan dalam mencabut akar patriarki, mengentikan maskulinitas para kapitalis, menumbangkan hegemonik ras kulit putih, dan praktik imperialisme perlu adanya konsistensi gerakan. Di mana upaya-upaya tersebut bisa dilakukan mulai dari grass root (akar rumput), agar suara kaum perempuan yang ada di bawah dapat di dengar dan hak-haknya bisa direalisasikan. Sehingga, narasi-narasi global yang selama ini digelorakan tidak hanya sekedar menjadi wacana di tingkat atas (negara), namun juga harapannya bisa digerakkan di tingkat bawah (Desa/Distrik). Terlebih, sejak abad ke-20 telah terjadi dekolonisasi pada negara-negara Dunia Ketiga yang menjadikan ide-ide dan gerakan feminis semakin tumbuh dan matang.
Selanjutnya, yang menjadi tantangan besar yaitu realitas bahwa kaum perempuan dari negara-negara berkembang dan miskinlah (Dunia Ketiga) yang sering menerima berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan. Satu sisi, secara gender mereka dinomorduakan dan di sisi lain secara kelas (ekonomi) perempuan di negara-negara ini mengalami ekploitasi, rasisme, seksisme, misoginis, dan heteroseksisme. Di mana sumber daya alam mereka dikeruk oleh korporasi, tenaga mereka dieksploitasi melalui sistem kapitalisme, dan kebebasan mereka dipolitisasi. Sehingga tidak ada celah lagi bagi mereka untuk mendapatkan keadilan baik secara sosial maupun ekonomi. Sebaliknya, kaum perempuan ini terus mengalami penindasan dan keterbelakangan.
Kesadaran kolektif menjadi hal yang harus didorong dan diakumulasikan sebagai kekuatan bagi kaum perempuan di dunia untuk mengambil kembali hak-hak mereka yang selamai ini telah direnggut oleh hegemonik maskulinitas laki-laki. Seperti yang dikatakan oleh Robin Morgan, bahwa melalui sejarah perempuan telah ditipu, dibungkam, dan dirampok. Oleh sebab itu, kaum perempuan harus berani mengubahnya melalui gerakan-gerakan feminis kolektif yang aplikatif dan prograsif dari bawah. []
Discussion about this post