Muncul banyak pertanyaan tentang gerakan literasi di Kota Metro. Mengapa toko buku Gramedia tidak bertahan lama? Mengapa lapak baca tidak sustainable? Mengapa perpustakaan sekolah minim pustakawan? Mengapa kampus jarang sekali ada bedah buku atau perbincangan tentang buku? Mengapa pemerintah gagal menghidupkan rumah pintar?
Ada pertanyaan tidak harus langsung dijawab. Ini bukan tentang mencari jawaban tapi bagaimana semakin meningkatkan kualitas pertanyaan setelah kita sama-sama punya pengalaman gerakan? Kritik seringkali muncul ke sana ke sini, tapi pengalaman selalu mengajarkan kita, agar tidak melakukan kesalahan berulang-ulang.
Upaya berbagai entitas mungkin sudah sedemikian rupa, tapi gotong royong sampai menciptakan ekosistem gerakan belum terjadi. Program yang dimiliki oleh pemerintah, perguruan tinggi dan sekolah belum terintegrasi untuk kepentingan masyarakat luas. Penggerak, ruang, pemberdayaan dan dukungan teknologi merupakan faktor penting.
Budaya menulis sebuah kota pasti dipengaruhi oleh budaya membaca yang tinggi (kecuali mahasiswa membuat makalah copy paste). Proses penciptaan puisi, pantun, cerpen, lirik lagu, opini di koran sampai pada karya buku utuh adalah proses panjang manusia dalam menekuni tradisi membaca dan menulis. Sedangkan gerakan literasi sendiri melampaui itu. Jika komunitas secara konsisten dapat menciptakan wastra khas daerah, kelak akan muncul karya lain dalam bentuk gambar, film, pameran, museum dan segala jenis cerita hasil karya orang-orang yang menekuni literasi.
Gerakan literasi yang konsisten akan menghasilkan karya baru. Organik dan otentik, lahir dari perenungan mendalam. Cipta, karsa, karya yang benar-benar punya ciri khas dan diakui oleh komunitas yang menekuni hal tersebut. Yang sederhana misal, terkait budaya menulis opini di surat kabar. Makin ke sini media cetak di Lampung makin surut penulis-penulis muda yang menuliskan gagasannya. Perlu ada upaya pemerintah daerah untuk memberi insentif bagi penulis pemula yang tulisannya di terbitkan di surat kabar baik berupa cerpen, puisi atau opini.
Generasi yang memiliki tradisi menulis mendapat respon positif dari dinas pendidikan atau dinas perpustakaan daerah. Sehingga budaya literasi kota diharapkan meningkat karena pemerintah peduli pada karya, bukan pada kegiatan seremonial berbungkus isu literasi. Perguruan Tinggi harus mengadakan kerjasama dengan penerbit-penerbit buku untuk bedah buku dan mengapresiasi mahasiswa yang menuliskan resensi tentang isi buku. Kolaborasi bisa dua arah sekaligus, yaitu pemberian penghargaan dari penerbit dan pemerintah daerah itu sendiri. Bicara literasi memang tentang orang belajar, tapi literasi perlu diingat selalu mewariskan teks yang dapat dipelajari oleh generasi selanjutnya. Literasi tanpa membaca dan menulis seperti mencari tujuan tanpa menggunakan peta jalan.
Dharma Setyawan
Discussion about this post