Berkali-kali sharing tentang pengembangan desa rasanya tidak cukup kita bicara pembangunan fisik dan capaian ekonomi desa. Tentu capaian yang dilihat nyata adalah jalan desa bagus dan geliat ekonomi tumbuh. Melihat kenyataan infrastruktur jalan tentu kita sering kecewa, jalan jelek dan jembatan penghubung bahkan putus. Contoh nyata ada di Sendang Baru Lampung Tengah, ada surga Telogo Rejo di dalam kampung, ada danau, kopi berlimpah, gula 500 kg dihasilkan setiap hari, dan hasil pertanian yang kalau dibandingkan di kota harganya jauh lebih murah.
Mereka sejahtera secara kebutuhan pangan bahkan berlimpah, tapi memang desa kehilangan narasi dan gerakan kebudayaaan. Pemerintah bukannya tidak peduli, jalur masuk 18 km sudah dibangun cor meskipun pintu masuk bukan dari kecamatan Kalirejo jarak yang lebih dekat, tapi dari Gunung Sugih yang harus berputar 2 jam. Pemerintah juga sudah membangun aula, panggung, mushola, WC, gazebo dan lokasi berdagang di Wisata Danau Telogo Rejo. Ternyata semua fasilitas yang dibangun itu tidak akan pernah menjamin adanya pergerakan.
Pengetahuan atau pendidikan pemberdayaan yang pelan namun pasti akan membuat orang-orang sadar bergerak, bergotong-royong sampai pada level menjadi inivator desa. Apakah sejauh ini tidak ada orang yang punya gagasan-gagasan menarik? Sudah ada tapi baru dalam tahapan wacana sepihak, idenya baru disampaikan dan kurang menarik perhatian publik. Problem bergerak di lapangan jelas lebih kompleks dari proses membangun gagasan. Dana desa yang habis untuk bantuan langsung tunai (BLT) dimasa pandemi ditambah problem desa yang semakin birokratis. Menggaji perangkat desa dan kegiatan pengganggaran rutin yang membuat narasi gotong-royong makin terkikis.
Jika saya tarik garis benang merah proses perjuangan panjang kemandirian desa yaitu Pertama, dimulai dengan mendidik kader-kader muda desa langsung ke ruang kreatif desa untuk belajar manajemen Bumdes, wisata desa, kampung tematik, pengelolaan produk ekonomi yang dihasilkan desa. Kedua, Anak-anak muda harus belajar bagaimana marketing produk desa melalui kanal-kanal media apapun yang bisa digunakan oleh desa tersebut.
Selanjutnya, siapa yang menemani anak-anak muda ini untuk memulai? Di sinilah kita harus akui mencari keder penggerak yang tulus menemani anak-anak muda ini jelas tidak banyak. Jika ada yang sanggup menemani maka kelak tokoh ini akan jadi bagian dari local champion di desa tersebut. Memberi pemahaman tentang arti penting gotong royong, tidak hanya pandai memotivasi tapi juga pandai untuk menggerakkan perubahan secara gotong royong. Kemandirian desa jangan selalu diukur dari penyerapan anggaran desa untuk infrastruktur, tapi bagaimana SDM desa mulai sadar untuk menciptakan ekosistem ekonomi baru yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Semakin banyak SDM kreatif yang menghargai pengetahuan, terus punya tradisional belajar, , maka kemandirian desa dalam capaian infrastruktur pelan namun pasti akan dipikirkan bersama-sama oleh warga desa bukan hanya birokrasi desa.
Local champion harus dilahirkan, dia mungkin bisa lahir karena keresahan atas kondisi desa yang stagnan. Tapi tidak ada perubahan yang hadir tiba-tiba. Menjembatani lahirnya local champion bukan proses singkat. Bisa jadi local champion sedang belajar di sekolah, anak kecil yang sedang membaca buku di perpustakaan desa, pemuda yang masih kuliah di perguruan tinggi, santri yang sedang membaca Al-Quran. Para calon local champion desa dilahirkan dengan proses kepedulian desa untuk mengurus generasi desa agar terus belajar dan belajar. Bukan desa yang membiarkan generasinya bebas melakukan apapun dan setelah mereka tua baru menyadari desanya tertinggal jauh dengan desa yang lainnya.
Discussion about this post