Suburnya budaya patriarki di masyarakat telah memicu tumbuhnya relasi asimetris antara perempuan dan laki-laki. Perempuan selalu menjadi pihak yang dirugikan dari relasi ini, karena mereka terus mengalami domestifikasi, stereotip negatif di masyarakat, opresi, kekerasan, alienasi, pemarginalan, dan subordinasi di ranah kerja. Perlakuan yang kerap dialami oleh mereka inilah kemudian membangkitkan upaya solidaritas kaum feminis untuk meminta kembali hak-haknya yang telah terserabut.
Mengakarnya paradigma masyarakat yang patriarkis telah menjadi pondasi atas diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan. Selain itu juga, didorong oleh kebijakan negara yang cenderung melegitimasi bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemahaman agama yang keliru. Hal inilah yang kemudian memicu konflik dan kekerasan terhadap perempuan di berbagai daerah. Seperti konflik hutan adat Pubabu NTT, kasus pembangunan Makassar New Port, Penggusuran Tamansari Bandung, penggusuran warga Alang-alang Lebar Labi-Labi Kota Palembang, dan kasus pertambangan di Kabupaten Dairi Sumut. Dalam kasus tersebut, banyak perempuan yang mengalami kekerasan dari aparat negara dan anggota masyarakat yang bersebrangan. Bahkan beberapa diantaranya harus menghadapi kriminalisasi dan menjalani masa tahanan.
Melihat kekerasan yang terus dialami oleh kaum perempuan akhirnya mendorong lahirnya gerakan feminisme yang berusaha mengubah pandangan masyarakat yang selama ini cenderung patriarkis. Untuk mengubah pandangan tersebut, kaum feminis berupaya menggaungkan wacana dan isu-isu mengenai gender, baik melalui tulisan, dialog, maupun aksi turun ke jalan. Pasalnya, munculnya paradigma patriarkis tidak lepas dari pemahaman masyarakat yang kurang tepat dalam memaknai arti gender dan seks. Bahkan, sebagian besar mereka memahami gender adalah jenis kelamin (seks), padahal keduanya sangat berbeda.
Secara sederhana, seks dapat didefinisikan sebagai pembagian jenis kelamin manusia secara biologis, di mana laki-laki memiliki penis yang bisa memproduksi sperma sedangkan perempuan memproduksi ASI, memiliki rahim dan vagina. Sedangkan, gender lebih mengerah pada perbedaan fungsi, peran, status, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dihasilkan dari proses konstruksi sosial budaya masyarakat. Isu gender dan seks inilah yang kemudian menjadi narasi kaum feminis untuk meluruskan paradigma masyarakat yang selama ini keliru. Perempuan yang seringkali dipandang lemah dan dianggap hanya sebagai konco wingking atau simah (isi omah) perlu diubah bahwa sejatinya mereka setara dengan laki-laki.
Gerakan feminisme merupakan bentuk kesadaran dari kaum perempuan yang selama ini terpinggirkan. Mereka sadar bahwa ruang bagi perempuan selama ini telah dibatasi dan dikapitalisasi oleh maskulinitas laki-laki. Di mana seolah laki-laki diistimewakan dengan sifat maskulinitasnya daripada feminitas perempuan yang dianggap sebagai makhluk inferior. Sehingga membentuk realitas sosial di masyarakat bahwa laki-laki lebih memiliki kekuatan dalam bidang ekonomi dan politik ketimbang perempuan. Munculnya hierarki gender, sistem masyarakat yang patriarki, dan eksploitasi terhadap perempuan di berbagai negara, pada akhirnya membuat gerakan feminisme ini semakin masif.
Secara etimologi, feminisme berasal dari bahasa latin ‘femina’ dan dalam bahasa inggris disebut sebagai ‘feminine’ yang berarti sifat-sifat keperempuanan. Selanjutnya menjadi paham feminism yang bergerak menyuarakan isu kesetaraan gender. Pada tahun 1895, ketika kampanye persamaan gender disuarakan, munculah istilah feminisme yang hingga saat ini akrap dijadikan simbol gerakan-gerakan kaum perempuan yang menuntut keadilan dan kesetaraan. Lahirnya gerakan feminisme inilah yang kemudian memberikan ruang bagi perempuan untuk bersuara.
Munculnya gerakan feminisme yang dipelopori oleh kaum feminis juga turut mendorong kesetaraan gender di ruang kerja. Eksploitasi dan beban ganda yang seringkali dialami oleh perempuan menjadi isu serius yang terus disuarakan oleh mereka. Pasalnya, banyak ditemukan pelanggaran maternitas (haid, kehamilan, dan kesehatan) yang dialami oleh kaum pekerja perempuan. Bahkan, tidak sedikit yang mengalami kekerasan, pelecehan seksual dan kerja overtime tanpa gaji. Di samping mereka juga dituntut untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci dan mengurus anak). Di mana beban kerja rumah tangga inilah yang kerap tidak dihitung dan lihat pengorbanannya oleh laki-laki, bahkan dianggap hanya sebatas kewajiban seorang istri terhadap suami.
Lembaga seperti Women and Environment Studies (WES), Rumah KitaB dan Mubadalah yang konsisten mengangkat isu terkait gender kini menjadi wajah gerakan feminisme di Indonesia. Upaya-upaya mereka dalam menarasikan isu-isu gender, tindak kekerasan yang dialami oleh perempuan, dan memberikan edukasi kepada masyarakat merupakan langkah konkrit untuk mengubah paradigma patriarkis yang telah lama tertanam. Selain juga ingin memperjelas hak-hak kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, baik di ruang sosial, politik maupun ruang kerja.
——–
Referensi:
1). Nurrochman, “Al-Qur’an dan Isu Kesetaraan Gender,” dalam Wahana Akademika: Jurnal Studi Islam dan Sosial UIN Walisogo Semarang, Vol.1, No.2, 2016, h. 268.
2). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2020 (Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan Seksual, Kekerasan SIber, Perkawinan Anak, dan Keterbatasan Penanganan di Tengah Covind-19), (Jakarta: Komnas Perempuan, 2021), h. 90-92.
3). Nasirudin Al Ahsani, “Kepemimpinan Perempuan pada Masyarakat dalam Perspektif Saʿīd Ramaḍān Al-Būṭī: Telaah Hadis Misoginis”, dalam Al-Hikmah: Jurnal Ilmu Dakwah dan Pengembangan Masyarakat IAIN Jember, Vol.18, No.1, 2018, h. 52.
4). A. Rokhmansyah, Pengantar Gender dan Feminisme: Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme, (Yogyakarta: Garudhawaca, 2016), h. 2.
5). A. Utaminingsih dkk., Gender dan Wanita Karir, (Malang: UB Press, 2017), h. 8.
6). obibatussaadah dkk., Ekonomi Feminisme Salafi: Potret Kontruksi Sosial dan Enterprenuership Perempuan Salafi di Lampung, (Bandar Lampung: AURA, 2021), h. 26.
7). Lisa Turtle, Encyclopedia of Feminisme, (New York: Facts of File Publication, 1986), h. 107.
Discussion about this post