Di kampus ada gotong royong. Ya, 425 mahasiswa bergerak membuat gebrakan di tengah pandemi. Di bagi di 6 titik agar tidak berkerumun, kegiatan mereka tuntas tanggal 4-9 Januari 2021. Sebuah tradisi yang memang biasa dilakukan tapi terhalang pandemi, yaitu fieldtrip ke Jawa dengan diksi lain Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Sudah 2 tahun semenjak saya menjadi kaprodi, saya memilih tidak ikut dengan tradisi lama ini. Saya memilih menemani anak-anak mahasiswa yang tidak punya biaya dan berusaha mencari tempat lokal yang pantas untuk menjadi tempat KKL alternatif.
KKL di Jawa menjadi hal yang menyenangkan untuk mereka perbincangkan sejak semester awal. Mimpi menginjakkan kaki di Jawa (bagi yang belum), mengunjungi tempat yang menurut beberapa yang sudah melakukan perjalanan terasa cepat dan terburu waktu. Ada yang keluar uang 3-4 juta untuk perjalanan 7 hari yang melelahkan. Tapi setelah saya tanya memang mereka senang dan menikmati perjalanan ke Jawa. Tapi, uang 3 juta sungguh cukup banyak, apalagi ditambah harus bayaran uang kuliah tunggal.
KKL tematik dimasa pandemi menjadi alternatif. Sebuah ide sekaligus tantangan yang tidak mudah. Dilarang berkerumun, tetap ada point pembelajaran dan paling penting bagaimana menekan biaya lebih murah dan pro perubahan. 425 mahasiswa kemudian mendengar beberapa pemaparan kakak tingkat angkatan 2017 yang memilih KKL tematik, bahwa mereka yang tidak bisa ke Jawa, memilih KKL lokal dengan biaya 500 ribu selama 10 hari hidup bersama warga dan melaksanakan praktik lapangan. Bisa jadi ini seperti KKN mini, karena memang waktunya tidak lama.
Setelah melakukan persiapan dengan matang 425 anak sepakat mengumpulkan uang 500 ribu per mahasiswa, dikelola mereka sendiri, dikumpulkan melalui ketua kelas masing-masing dan digunakan dengan tertib berbasis nota keuangan bendahara berlapis. Jelas tantangannya harus lebih asyik dan memberi banyak pengetahuan yang sama atau bahkan lebih dari jalan-jalan ke Jawa. Kenapa mereka yang mengelola sendiri, karena biasanya uang KKL diberikan ke lembaga travel bukan lembaga kampus. Jadi sebagai kaprodi saya tidak mau ini menjadi tindakan pungli dikemudian hari.
Selama ini saya baru menyadari bahwa uang ke Jawa jika per anak habis 3 juta di kali 8 ribu mahasiswa maka akan ada 24 Miliar mengalir ke Jawa. Jika per tahun ada 2 ribu mahasiswa berarti ada 6 miliar mengalir ke luar Lampung. Bagaimana dengan kampus Unila, Itera, UIN RIL yang mahasiswanya puluhan ribu? Sebagai penggerak ekonomi kreatif, saya selalu yakin dengan gerakan gotong royong.
KKL Tematik Esy memilih jalur berbeda di tengah pandemi. Terkumpul uang 215 juta, dengan saya tambah 1 juta untuk memberi semangat mereka merancang kegiatan yang lebih punya nilai jangka panjang. Mereka punya rencana workshop Bisnis, Outbond, membuat pupuk organik, membeli 20 kotak lebah, workshop kopi, workshop kursi drum, workshop penanaman anggur, mural kampung anggur, membeli alat sablon kaos, membuat kursi cafe, sound musik, mendirikan kantin di kampus dan tentu biaya makan sekaligus peralatan lainnya.
Setelah KKL selesai mahasiswa ESy angkatan 2018 dan 2019 mendirikan koperasi mahasiswa untuk menghitung aset yang mereka miliki. Angkatan 2017 ikut menjadi mentor mereka saat mengerjakan hal-hal kreatif seperti membuat pupuk organik, menyablon kaos, mengecat kursi dan meja besi, merakit lampu, meracik kopi kekinian, membuat toping kotak lebah, dan bergotong royong bersama tukang bangunan mendirikan kantin. KKL Tematik ini semoga menginspirasi angkatan selanjutnya, dan ekosistem ekonomi dapat terus dikembangkan di kemudian hari.
Dharma Setyawan
Kaprodi Ekonomi Syariah IAIN Metro.
Discussion about this post