Revolusi Industri 4.0 telah membawa perubahan yang cukup signifikan pada pola pergerakan media di Indonesia. Pada era ini, banyak sekali ditemukan perusahaan media yang mengalami disrupsi dan transformasi dari analog ke digital. Sehingga, menyebabkan tereliminasinya media-media yang tidak mampu beradaptasi dan hanya menyisakan mereka − para pengusaha media − yang punya modal besar dan terus berinovasi, yang hingga saat ini tetap bisa eksis di tengah gempuran arus digitalisasi.
Di Indonesia, terjadinya revolusi media (dari analog ke digital) dimulai setelah lengsernya pemerintahan Orde Baru. Turunnya Soeharto mendorong munculnya para pengusaha baru yang masuk ke dunia media, terutama media-media yang berbasis digital. Pasalnya, di era kepemimpinan Orde Baru ruang gerak media, baik cetak (koran), radio maupun televisi sangat dibatasi. Sebaliknya, kini mayoritas perusahaan media pasca Orde Baru (Era Reformasi) telah mengalami banyak transformasi, di mana tidak hanya sekedar sebagai kanal informasi dan penyambung suara masyarakat, namun juga menjadi semakin terindustrialisasi – (cenderung dijadikan lahan bisnis). Terutama perusahaan-perusahaan media arus utama yang kemudian banyak terkonsentrasi di tangan segelintir elite. Sehingga, sudah tidak menjadi rahasia umum jika media arus utama kerap menjadi ruang dominan bagi para elite menggunakan kuasanya, baik untuk menciptakan citra positif ke publik maupun untuk mengamankan bisnis-bisnisnya (Martin Hirst; 2011).
Ross Tapsell melalui risetnya terkait kuasa media di Indonesia, menemukan bahwa telah terjadi konglomerasi media baik secara vertikal maupun horizontal di Indonesia. Menurutnya, saat ini terdapat delapan media besar di Indonesia yang dikuasai oleh para konglomerat digital, meliputi Trans Corp (Chairul Tanjung), MNC (Hary Tanoesoedibjo), SCMA Group (Eddy Sariaatmadja), Berita Satu (James Riady), Kompas Group (Jacob Oetama), VisiMedia Asia (Aburizal Bakrie), Jawa Pos Group (Dahlan Iskan), dan Media Televisi Indonesia (Surya Paloh) (Ross Tapsell; 2018). Mayoritas dari mereka terafiliasi dengan partai politik dan para pemangku kebijakan di pemerintahan. Hal inilah yang akhirnya terut menyebabkan pemberitaan terkait kinerja pemerintah terkesan soft (banyak menampilkan citra positif terhadap wajah pemerintah) dan jarang sekali menampilkan kritik atas kerja-kerja mereka yang cenderung berpihak kepada kepentingan korporasi ketimbang masyarakat kecil.
Pada akhirnya, munculnya konglomerasi media di Indonesia turut mendorong arah pemberitaan yang ditampilkan di media. Terlebih para pemilik perusahaan media punya kecenderungan untuk mengamankan bisnisnya, ingin menguatkan pengaruhnya dikancah politik (pemerintah), dan membangun dinasti di dalam perusahaannya. Dapat diingat, ketika pemilihan presiden pada tahun 2014 terdapat dua kubu media yang satu mendukung Jokowi dan lain kubu mendukung Prabowo, di mana masing-masing dari mereka membawa kepentingan para kaum elite (oligarki). Hal ini sekaligus menguatkan pendapat Jaffrey Winter dalam karyanya “Oligarchy”, Ia mengungkapkan bahwa tujuan sebenarnya kaum oligarki yaitu mempertahankan kekayaannya (Jeffrey Winters; 2011). Oleh sebab itu, akan sulit saat ini menemukan media kritis yang berani menyediakan ruang untuk menantang hegemonik para elite oligarki.
Masifnya pertumbuhan media digital saat ini secara terang-terangan telah memberi dobrakan pada arah citra kebijakan pemerintah di banyak sektor, baik politik, ekonomi (bisnis), sosial, komunikasi dan lainnya. Terkhusus pada sektor ekonomi, selain untuk menguatkan aktivitas bisnis para elite oligarki, media juga digunakan untuk mendorong kamuflase kaum kapital atau korporasi dalam menjaga kepentingannya (eksploitasi manusia dan sumber daya alam). Kasus ini didokumentasikan dengan baik oleh Dandhy Dwi Laksono melalui film dokumentar Sexy Killers dan Kinipan yang mengungkap keterlibatan para elite oligarki (partai politik, pemerintah, aparat, dan pengusaha), di mana mereka secara kolektif mengekspoitasi sumber daya alam, yang notabene tidak pernah dicitrakan oleh media-media arus utama. Karena kebanyak media-media saat ini cenderung berpihak kepada keselamatan bisnis para elite oligarki ketimbang penderitaan yang dialami oleh masyarakat kecil.
Pergeseran arus pemberitaan di media semakin masif sejalan dengan era digitalisasi yang terus mengalami perkembangan sangat pesat. Media-media digital menjadi konduktor yang sangat aktif mempublikasikan citra positif para elite ke publik. Sehingga, persepsi publik pun kerap terkecoh dengan pemberitaan atau informasi yang tersebar melalui media digital (Website, TikTok, Youtube, Facebook, Twitter, dan lainnya). Sebaliknya, tidak banyak pemberitaan di media digital yang mengulik terkait aktivitas bisnis mereka yang kerap memarginalkan kehidupan masyarakat, baik masyarakat adat, buruh, dan mereka yang hidupnya bergantung pada sumber daya alam disekitarnya. Pasalnya, kerja-kerja eksploitatif yang diprakarsai oleh para elite oligarki tersebut sering menyebabkan kerusakan lingkungan, hutan, hilangnya keseimbangan ekosistem alam, bencana katastropik, dan mengakibatkan munculnya berbagai wabah penyakit.
Kini, kesadaran kolektif masyarakat harus dibangun sebagai ujung tombak untuk melawan hegemonik para elite oligarki yang selama ini berkuasa terhadap sumber daya yang ada. Sehingga, sumber daya tersebut bisa dimanfaatkan secara adil dan merata. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 1 yang menegaskan bahwa bumu, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Adanya transformasi media tentu harusnya semakin membuka banyak informasi dan edukasi positif kepada masyarakat terkait kinerja dari pemerintah. Sehingga mereka bisa memantau kenerja pemerintah dengan mudah dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang dirasa kurang pro dengan kepentingan masyarakat. Bukan malah sebaliknya, media dijadikan topeng bagi segelintir kelompok untuk mengamankan kepentingan mereka. []
Discussion about this post