Desa sering disebut kurang pengetahuan? Selalu dianggap tertinggal? Modernisasi seolah menelanjangi desa terkait persoalan teknologi dan akses informasi yang lambat. Mungkin argumen itu benar jika kita lihat 10-20 tahun lalu. Orang-orang desa belum menikmati internet seperti hari ini. Di desa-desa pemilik kendaraan roda 4 dan 2 bukan barang asing, lalu mengapa desa masih tertinggal jauh dari kemajuan kota? Alat ukur apa yang harus dipakai? Apakah membandingkan desa dan kota adalah cara berpikir yang benar?
Jika kita cermati, pendidikan orang desa selalu berkiblat pada kota. Orang kota terlalu banyak bicara tentang kemajuan zaman dan meninggalkan desa dalam diskursus yang paling serius. Kita sebut saja kosa kata sumber daya alam, pangan, lingkungan hidup, hutan, kebudayaan, pertanian dan tentu banyak lagi. Kata di atas adalah masa depan peradaban manusia desa dan itu masih berlimpah dan wajib dilestarikan. Sedangkan kota dengan kemacetan, sampah, banjir, polusi udara, pengangguran, teknologi, industrialisasi, bisa jadi ini adalah masa suram manusia.
Diskursus tentang desa tidak dianggap sebagai primadona. Bahkan oleh orang-orang yang tinggal di desa, kesadaran kritis tentang bagaimana mengelola desa sangat minim. Isu kota lebih banyak mempengaruhi mereka. Desa kalah pamor dengan perbincangan tentang demokrasi padat modal, ruang publik kota, korupsi, dan kaum miskin urban. Sudah lama desa tidak jadi halaman depan pembangunan Indonesia. Kita semua memunggungi desa dan masih melihat kota seolah masa depan utama Indonesia. Menjadi Indonesia ternyata tidak menawarkan serius bagaimana local wisdom atau local genius desa dapat di selamatkan dan dilestarikan.
Kampus-kampus mendirikan fakultas pertanian juga di tengah kota. Jarang terjadi fakultas pertanian berdiri untuk serius membangun conecting dengan desa. Yang ada menyokong industrialisasi pertanian modern untuk elit yang ingin menguasasi pangan desa. Mereka belajar dan praktik tidak sebagaimana mestinya. Akhirnya lahir sarjana pertanian yang tidak mengenal pertanian dan hanya bermimpi kerja di birokrasi ngurus para petani. Sedangkan kebijakan negara dalam bidang pertanian tidak pernah serius bicara kemandirian pupuk organik, kemandirian pangan, mensejahterakan petani, sampai pada penciptaan pasar internasional. Dunia pertanian yang dibayangkan oleh para fakultas pertanian diimajinasikan dengan pekerjaan kantoran bukan memperbanyak para petani terdidik.
Pendidikan untuk orang desa seharusnya bersifat transformatif. Praktik dan membentuk komunitas yang belajar bersama dan praktik bersama. Tidak bermimpi tentang kehebatan gelar pendidikan, tapi negara bisa memastikan jumlah petani bertambah dan surplus pangan negara diperjuangkan oleh mereka. Kementerian pertanian bukanlah kementerian yang membincangkan pertanian dari ruang kota. Di luar struktur negara selalu ada komunitas dan kelompok masyarakat yang menginspirasi untuk tumbuh dengan cara berpikir dan berpihak ke desa bukan malah sebaliknya.
Ketika anak-anak muda desa sudah mengenal internet, kita juga belum memiliki diskursus kebanggaan terhadap bagaimana anak muda desa mengenal teknologi untuk mengembangkan kebudayaan desa? Padahal asal muasal seni, tarian, kerajinan gerabah, kayu, bata, arsitek, kain, mayoritas adalah temuan orang-orang desa. Desa mengalami kegagalan mengkonversi pengetahuan untuk dapat dipatenkan oleh desa. Perguruan Tinggi seolah hanya mengumpulkan kembali apa yang berserakan di desa dan hanya menjadi perbincangan panggung akademik bukan pelestarian kebudayaan desa.
Di sini pentingnya anak-anak muda desa mulai merebut kembali informasi untuk mengambil kembali apa yang sudah desa produksi. Anak muda desa terlibat aktif membangun titik balik, mengenalkan desa dan mempromosikan produk desa ke dunia luar. Ketika desa jadi subjek, maka kesadaran pendidikan orang desa, fokus pada marketing value desa itu sendiri. Membuat ruang pengetahuan secara transformatif, dan mengabarkan melalui media apa yang dikerjakan warga desa.
Untuk apa bicara media digitalisasi desa jika desa gagal menemukenali apa-apa yang leluhur pernah kembangkan bahkan sampai menjadi destinasi? Website desa seyogyanya memuat informasi pertanian, peternakan, perikanan, dan menganggit kembali yang sudah ada atau bahkan mencari yang hilang. Akademi desa, sekolah desa, kursus desa atau apapun namanya adalah metode untuk kita membantu desa semakin berdiri di atas kaki sendiri. Membangun kebudayaan kolektif bahwa dengan gotong royong desa akan tumbuh dengan karakternya sendiri. []
Discussion about this post