Dalam diskursus pembangunan nasional, desa mendapatkan perhatian khusus terkait pengembangan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Bentuk perhatian itu merupakan upaya mengejar pekerjaan rumah pemerintah pusat untuk percepatan distribusi kesejahteraan yang terangkum pada UU Desa no.6 Tahun 2014.
Faktanya, banyak ditemukan asinkron antara implementasi kebijakan dan kapasitas desa dalam mengelola keuangan desa terutama dalam kerangka tata kelola dan ketersediaan sumber daya manusia. Kondisi ini menimbulkan permasalahan sistemik yang berdampak pada stagnasi desa-desa di Indonesia baik di kabupaten yang ada di pulau Jawa apalagi di luar pulau Jawa.
Pengelolaan keuangan desa merupakan hal penting dan urgen untuk dibahas. Bukan hanya sekadar bagaimana mengupayakan daya serap anggaran dalam siklus tahunan, namun lebih kepada bagaimana setiap dana yang dialokasikan untuk desa mampu menciptakan daya ubah dan peningkatan value-added yang dapat dirasakan masyarakat desa secara menyeluruh.
Berikut adalah catatan Payungi University untuk penataan kembali dana desa :
1. Orientasi pada Aset produktif
Penggunaan dana desa untuk pengadaan aset produktif dirasa mampu untuk menciptakan aktivitas ekonomi yang berkelanjutan. Mesin sablon kaos misalnya, dapat dimanfaatkan untuk menjadi supporting sistem kegiatan desa yang membutuhkan atribut-atribut untuk kegiatan mingguan-bulanan-tahunan. Pemuda-pemuda desa dapat dikaryakan untuk mengoperasikan mesin-mesin tersebut yang dalam jangka pendek akan secara signifikan mengurangi cost belanja.
Dalam jangka panjang, cara tersebut dapat menciptakan potensi bisnis baru dengan menggarap pasar yang lebih luas dan menjadi sumber pemasukan desa. Ada banyak aset produktif lain yang bisa diupayakan alih-alih membangun bangunan fisik yang sifatnya aksesoris seperti gapura atau yang sejenis yang tidak menimbulkan dampak ekonomis
2. Menggunakan sistem akuntansi digital
Pencatatan manual mengandung kelemahan yaitu sulitnya membalancekan neraca jika tidak benar-benar menguasai ilmu akuntansi. Melatih SDM desa untuk menguasai akuntansi pun butuh waktu dan mengeluarkan biaya yang tidak murah. Software pencatatan keuangan digital sudah banyak bertebaran dan banyak yang bisa diakses secara gratis.
Dengan mengoptimalkan sistem pencatatan digital, tata kelola keuangan dapat lebih mudah dioperasikan dan dimonitor. Menghindari potensi kelalaian dan resiko miss-management dan dapat memaksimalkan prinsip transparansi dan akuntabilitas bagi masyarakat desa.
3. BUMDes
Dengan adanya 2 poin diatas, BUMDes diharapkan menjadi wadah inti dalam mengoptimalkan dana desa. Potensi ekonomi yang muncul dari aset produktif dikelola secara kolektif oleh anggota BUMDes melalui pola keanggotaan koperasi. Bagi desa destinasi wisata, BUMDes bisa menjadi perantara pemberdayaan ekonomi kreatif bagi pekerja kriya dan kerajinan lokal untuk memproduksi oleh-oleh bagi wisatawan yang hadir berkunjung.
Hal ini juga tentu tidak mudah untuk dilakukan, mengingat perlu adanya peningkatan SDM desa dalam mengelola BUMDes dengan melatih pemuda desa skill marketing, keuangan, keterampilan dan operasional.
Tata kelola keuangan desa yang baik akan menimbulkan trust atau kepercayaan warga desa. Sehingga, portofolio rekam jejak keuangan desa mampu menjadi citra desa baik aparaturnya maupun penerima manfaat sehingga dalam jangka panjang mampu menjadikan desa sebagai sarana untuk percepatan distribusi kesejahteraan.
Discussion about this post