Saya kerap mendengar namanya disebut sebagai bupati yang sukses membangun daerah yang dipimpinnya. Namun, mendengarnya langsung bicara tentang visi dan cita-citanya membangun Tulang Bawag Barat (Tubaba), baru beberapa bulan lalu di sebuah acara yang ditaja Payungi University, sebelum akhirnya saya berkesempatan bertemu langsung beberapa hari lalu (Senin, 16/5).
Umar Ahmad, Bupati Tubaba. Bicaranya santai tapi lugas. Setiap tuturnya seperti sebuah risalah yang telah diedit berkali-kali, rapi dan berirama. Filosofis dan mengandung makna yang mengharuskan kita merenung dan memikirkannya berkali-kali.
“Kami sadar Tulang Bawang Barat Tidak memiliki apa-apa dibandingkan dengan daerah lain. Oleh karena itu yang harus kami miliki adalah kesadaran bahwa kami tak memiki apa-apa.” Tegasnya dalam kesempatan berbagi pengalaman di acara Madrasah Penggerak Payungi, Ramadhan lalu. Kalimat yangtak hanya menunjukkan kerendahan hati, tetapi juga motivasi besar untuk melampui keterbatasan, motivasi untuk bangkit dan maju.
Saya bersepakat dan mungkin banyak orang lain juga demikian, bahwa untuk menjadi apa-apa hal utama harus dimiliki adalah kesadaran tak memiliki apa-apa, tahu diri! Setelah itu, baru berpikir mau apa dan mau menjadi apa. Orang yang belum melakukan apa-apa tetapi sudah merasa telah memiliki banyak hal, selain kian menegaskan kebohongan, ia tak lebih dari sekadar membangun citra gelembung sabun, kosong! Dan yang seperti itu tak sedikit jumlahnya. Ada banyak pemimpin yang suka klaim keberhasilan, sibuk bicara sana-sini tentang keberdayaan dan keberhasilan yang dikerjakan warganya, hingga ia lupa melakukan apa-apa dan akhirnya tak menjadi apa pun.
Umar Ahmad, Minggu, (22/5) mengakhiri masa jabatannya sebagai Bupati Tubaba bertepatan dengan dilantiknya Pj. Bupati.
Umar Ahmad, Bupati yang ramah, setidaknya begitulah kesan kali pertama ia menyambut rombongan Payungi dengan tari nenemo, sebuah tari kreasi penyambutan tamu khas Tubaba, ada jamuan makan, dan yang lebih mengesankan adalah, ia menyediakan waktu dari pagi hingga petang untuk menjadi guide kami keliling Tubaba, melihat pusat-pusat kebudayaan, kesenian, kreativitas warganya, masuk ke pasar dan tempat-tempat wisata yang telah ‘jadi’ maupun yang masih dalam proses penyelesaian.
Saat bertemu warga, terlihat keintiman. Selain menyalami, beberapa warga mengajaknya berfoto. Ia memperkenalkan beberapa industri rumahan, melihat pembuatan jamu, kripik hingga mengajak kami makan mie yang menurutnya adalah mie paling enak se-Tubaba. Ajaibnya, selama membersemai kami, tak sedetik pun ia terlihat memegang handphone, ia fokus mendengar dan sesekali menjelaskan beberapa hal tentang Tubaba.
Umar, meletakkan banyak ikon untuk menjadi alasan setiap orang yang berkunjung ke Tubaba tidak gampang lupa tentang Tubaba. Ada banyak ruang publik yang tercipta dari tangan dinginnya, bahkan tak hanya simbol, tetapi juga sarat nilai. Sederhana, setara, dan lestari tak hanya nilai-nilai yang berlaku untuk manusia, tetapi juga nilai yang juga harus diberlakukan buat makhluk hidup lain, yang terlihat maupun yang ghaib, semuanya harus hidup dalam harmoni, saling menghormati dan menjaga.
Menurutnya, tak mesti tinggal dan lahir di Tubaba untuk menjadi Tubaba, cukup memiliki jiwa dan mentalitas Tubaba, nenemo, nemen (kerja keras, nedhes (ulet, tahan banting/sabar) dan nerima (ikhlas menerima) maka ia telah menjadi Tubaba.
Kunjungan sehari ke Tubaba, tak ubahnya pulang ke rumah sendiri, menjadi Tubaba.
Discussion about this post