Pasar Yosomulyo Pelangi yang lebih dikenal dengan nama Payungi sudah berumur 2.5 tahun sejak di launching tanggal 28 Oktober 2018.Sebagai pasar kuliner yang digelar setiap hari Ahad ini sudah mencatatkan omset lebih dari 4.5 milyar dari 130 an kali gelaran. Angka yang cukup besar yang beredar di masyarakat RW 07 Kel. Yosomulyo Kota Metro.
Payungi saat sekarang ini sudah menjadi brand dari banyak kegiatan yang dikembangkan oleh para penggerak dan relawan serta masyarakat. Ada Payungi University sebagai sekolah alternatif dalam pemberdayaan masyarakat.
Pesantren Wirausaha Payungi untuk pembinaan dan peningkatan mental spiritual pedagang dan masyarakat.
Kampung Bahasa Payungi merupakan wadah untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris. WES Payungi sebagai wadah para aktivis perempuan yang bergerak di bidang gender dan lingkungan.
Kampung Kopi Payungi sebagai tempat yang representatif untuk berdiskusi dengan menikmati kopi dari berbagai macam jenis kopi di Lampung. Dan masih banyak lagi yang akan dikembangkan oleh para penggagas dan penggerak Payungi.
Kembali pada judul di atas, ini terinspirasi dari silaturahmi dengan Bupati Tulang Bawang Barat (Tubaba) Bapak Umar Ahmad pada tanggal 19 Ramadhan 1442 H yang lalu, penulis dan Mas Dharma Setyawan penggagas Payungi bersama dan mendampingi Wakil Bupati Lampung Tengah Bapak Ardito.
Dengan panjang lebar beliau menjelaskan tentang slogan atau motto “Menuju Tubaba” yang pada intinya untuk mengajak warganya merubah mindset dari warga Tulang Bawang Barat yang masih terkesan terbelakang menjadi warga Tubaba yang berkemajuan dan punya nilai budaya yang tinggi.
Terus apa hubungannya dengan Payungi ? Inilah yang akan kami tulis yang mungkin membutuhkan tulisan yang panjang sehingga nanti akan kami bagi dalam beberapa bagian.
Sebagai Ketua pasar yang juga mengasuh pesantren wirausaha Payungi mencoba untuk mengadopsi dan menerapkan dari ilmu yang didapat dari Bupati Tulang Bawang Barat tersebut.
Pada pertemuan perdana pesantren wirausaha bulan Syawal ini tanggal 19 Mei 2019 kami isi dengan tausiyah tentang nilai yang bisa diambil dari pelaksanaan ibadah ramadhan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Kami mencontohkan antara puasanya seekor ulat yang bermetamorfosis menjadi kepompong kemudian menjadi kupu-kupu, dan puasanya ular yang tetap sebagai ular walaupun bajunya berubah.
Ulat yang menjadi hewan yang menjijikkan atau membuat orang geli ketika merambat ke tubuh kita ketika dia sudah selesai menjalani puasanya akan menjadi seekor kupu-kupu yang disenangi oleh semua kalangan dari anak kecil hingga orang dewasa.
Baca selanjutnya Menjadi Warga Payungi (Part 2) – Payungi.org
Discussion about this post