Digitalisasi yang semakin cepat memberi dampak positif bagi para pelaku perubahan. Kesadaran kolektif civil society, perilaku kreatif dan inovatif komunitas dapat mempengaruhi bahkan melampaui capian birokrasi. Kota-kota kreatif tidak lahir dari satu kanal otoritas birokrasi pemerintah, tapi dominan ditopang oleh ekosistem masyarakat kreatif. Smart Village yang dikampanyekan oleh pemegang kekuasaan hanya jadi jargon tanpa adanya daya dorong para penggerak.
Laboraturium sosial para ilmuan sosial sejatinya ada pada gerakan berbasis masyarakat. Integrasi lintas keilmuan menunjukkan ketertinggalan pola dikotomi pada perguruan tinggi. Saat ini perguruan tinggi dipaksa mengikuti ritme yang terjadi pada relitas di luar kampus, kecuali tetap memilih ingin menjadi menara gading. Anak-anak muda yang kuliah pada jurusan tertentu, selalu saja ada jalan mempelajari keilmuan lain karena bersentuhan dengan satu komunitas kreatif tertentu.
Bahkan keilmuan apapun terus dicoba dikawinkan dengan entrepreneurship. Integrasi interkoneksi ini mengokohkan pendidikan transformatif butuh arena yang lebih luas, praktik sosial dan evaluasi mandiri. Pola adaptasi para pembelajar di luar system jurusan ini terbangun dalam berbagai cara mulai dari komunitas epistemik, literasi, film dokumenter, belajar ke local champion, bertandang ke lokasi perubahan dan kemampuan komunitas membangun gagasan baru.
Maka penemuan-penemuan teknologi dan inovasi sosial terus lahir diantaranya dari produk industri dan hasil kebudayaan masyarakat. Pemerintah dan Perguruan tinggi terlambat merespon apa yang terjadi pada dinamisasi masyarakat. Kolaborasi pemerintah dan PT terhadap inovasi sosial komunitas kreatif adalah 3 dari Pentahelix kolaborasi. Dimana letak kesalahan birokrasi selama ini kenapa terlambat menangkap atau terlambat menciptakan perubahan? Salah satu jawabannya adalah tidak adanya meritokrasi.
Mereka yang memimpin pada birokrasi tidak dilihat dari track record prestasi dan integritas. Terjadi semacam hirarki yang memang sulit untuk diubah. Presiden Jokowi mencoba mengubah dengan menyederhanakan menjadi eselon 1 dan 2, Ahok mencoba membuka kebuntuan dengan lelang jabatan, dan perusahaan-perusahaan teknologi telah lama menggunakan cara meritokrasi. Tapi jelas tidak mudah mengubah kenyataan birokrasi, karena mengatur aturan kepangkatan bahkan gelar akademis.
Tapi, jika anda percaya diri bisa melakukan perubahan dengan pendekatan berbeda, anda akan punya andil besar dalam memajukan ekositem perubahan masyarakat. Jika anda tidak yakin, maka lakukan perubahan dengan kolaborasi, dan tentu tidak ada di dunia ini orang melakukan perubahan sendirian. Dan pemimpin yang tidak mampu mewujudkan meritokrasi, lambat laun akan merasakan sendiri bahwa perubahan itu butuh orang-orang militan yang kreatif dan inovatif. []
Discussion about this post