Bismillahirrahmannirrahim.
Bapak dan Ibu yang budiman,
Rekan-rekan yang terpelajar,
Para pemberdaya yang saya hormati,
Assalamualaikum Warrahmatullah Wabarrakatuh
Tabik pun.
Kidung Wahyu Kolosebo (3..)
Sekira enam tahun lalu, saya memutuskan untuk meninggalkan dari Jakarta, melepaskan apa yang saya punya: karir, gaji, masa depan yang menjanjikan. Alasannya sederhana saja: Saya bosan. Jakarta tidak menawarkan satu hal yang layak jadi impian buat saya: menjadi manusia yang punya tujuan.
Setelah bekerja di sana selama lebih dari dua puluh tahun, membantu beberapa kementerian dan lembaga internasional, saya merasa belum bisa jadi manusia yang berguna. Merasa seperti apa yang digambarkan dalam surat An-nahl “seperti perempuan yang bersusah payah memintal, namun benang itu diurai kembali berulang-ulang.”
Saya terpapar sindrom absurditas, seperti tokoh yang diceritakan Albert Camus dalam novelnya The Myth of Sisyphus. Sisifus adalah lelaki yang dikutuk dewa-dewa, ditugaskan untuk mengangkat sebongkah batu besar ke atas bukit. Begitu sampai di atas, batu itu akan terguling lagi ke bawah dan sisifus harus mengangkatnya lagi ke atas. Berulang-ulang.
Dengan kata lain, di kota besar saya merasa sudah berbuat banyak tapi tidak membawa perubahan yang signifikan. Saya merasa berguna tapi tidak sampai jadi yakin bahwa yang saya kerjakan dengan sungguh-sungguh sudah memberi manfaat bagi orang lain.
Lalu, untuk apa saya bekerja 8 jam sehari, 5 hari dalam satu pekan, kekurangan waktu buat anak dan isteri, tidak punya waktu untuk dua hal yang membuat saya bersemangat: menulis dan membaca buku?
Pulang ke kampung halaman rasanya lebih menjanjikan.
Di kampung halaman saya punya dua Ibu. Yang pertama bernama Ina –perempuan yang melahirkan saya. Yang kedua kota Metro, kota yang dengan bangga saya sebut sebagai rumah, kota yang pernah merawat dan membesarkan saya.
Jika Ina membuat hati saya bungah, Metro bikin hati saya patah.
Banyak bangunan di kota Metro yang jadi tempat saya untuk menitipkan kenangan masa kecil kini rusak, diabaikan, atau musnah. Masjid taqwa tinggal menara. Gedung wanita dan gedung wanita bersalin rupa, lebih moderen dan megah, tapi terasa kurang ramah untuk didatangi warga. Taman kota jadi lebih cantik tapi diberi banyak pagar: baik pagar dari besi atau pagar lewat regulasi. Pedagang kecil diminta minggir, diganti sebuah tugu di tengah-tengah, sampai hari ini saya belum tahu apa maknanya.
Lalu jalan-jalan dipenuhi poster dan papan iklan, memuat gambar para politisi dan pejabat dengan tulisan kata-kata yang berbunga-bunga, slogan yang tidak banyak arti tapi seperti ogah untuk dibantah. Saya kerap bertanya, apa yang kira-kira dipikirkan warga kota yang setiap hari dipaksa melihat poster dan slogan-slogan itu? Mereka mungkin bertanya, mengapa di poster-poster itu tidak ada wajah mereka, tidak ada kemiskinan tampak di sana, tidak ada gambar nota hutang pedagang kecil di pasar pagi atau kaki lima. Poster dan slogan itu bukan tentang mereka atau tidak memberi tahu masalah nyata yang ada.
Di pinggiran Taman Kota dipasang 99 nama Tuhan. Asma’ul Husna yang membuat saya tergetar. Apakah nama-nama yang ditulis dalam aksara Arab itu dipahami dan membuat warga kota ini jadi lebih rendah hati? Apa kira-kira yang dipikirkan oleh warga kota Metro yang bukan beragama Islam? Jaminan toleransi atau simbol-simbol satu agama yang menghegemoni ruang-ruang kehidupan bersama?
Gedung-gedung, patung-patung, slogan-slogan; ada banyak simbol yang berdesakan memenuhi kota yang mengingatkan saya pada apa yang pernah disebut Pierre Bourdieu sebagai Symbolic Violence. Kekerasan budaya warga melalui simbol-simbol dan bahasa. Pejabat dan politisi yang wajahnya terpampang besar-besar itu lebih penting dibanding warga kebanyakan. Slogan dan kata-kata mereka dipamerkan karena dirasa lebih benar dibanding suara dan kata-kata rakyat biasa. Aksara Arab dipasang persis di tengah kota karena Arab adalah Islam dan Islam adalah agama mayoritas warga.
Saya warga kota Metro, saya beriman Islam. Tapi, bisakah kita mengambil pelajaran bagaimana kota-kota besar dan berperadaban dibangun oleh tokoh-tokoh terbaik dalam sejarah Islam? Al Makmun tidak memancang nama-nama Tuhan di alun-alun kota Bagdad. Dia membangun Bait Al Hikmah –perspustakaan paling besar dan paling lengkap di dunia pada eranya. Al Hakam mengutamakan anggaran untuk mendirikan perpustakaan di Cordoba yang jadi pusat perkembangan sastra dan ilmu pengetahuan.
Literasi, ilmu, buku yang diprioritaskan. Tokoh-tokoh besar itu tahu literasi adalah sendi-sendi untuk membangun budaya dan identitas sebuah komunitas.
Pernahkah anda bertanya mengapa kegagalan kita menyejahterakan warga miskin justru dinamakan sebagai ‘bantuan sosial’? Siapa yang dibantu? Siapa yang membantu? Siapa yang gagal paham menghadapi pelaku usaha kecil yang tumbang atau kemiskinan yang keras kepala?
Poster dan slogan itu tidak memuat visi masa depan. Poster dan slogan itu adalah papan iklan yang memenuhi lanskap kota hingga langit biru dan awan-awan tidak bisa lagi kita lihat dengan mudah.
Menghadapi hegemoni dan kekerasan simbol-simbol ini, menurut saya Payungi adalah sebuah budaya tanding. Payungi dan berbagai gagasan pemberdayaan warga menebalkan kepercayaan pada masyarakat: yang penting adalah bergerak, tegak di atas kaki sendiri. Jika kakimu goyah menapak, mari kita saling berpegangan tangan. Bergotong-royong.
Mungkin ada yang bilang dampak pemberdayaan hanya kecil saja. Namun, sebaiknya kita semua tidak lupa pembelajaran dari sejarah bangsa-bangsa: dimana saja, kapan saja, pembangunan harus dimulai dari manusianya.
Gedung dan poster-poster adalah satu hal. Pulang ke Metro saya juga menemukan hal lain dan yang lebih penting: manusia-manusianya, teman-teman masa kecil saya. Kami sudah berubah dan rambut sudah beruban, tentu saja. Wajah sudah mulai berkerut, entah karena banyak tertawa atau karena terlalu banyak beban hidup.
Saya kembali menjalin silaturhami, bertanya kabar, dan berbagi cerita tentang kota dan kenangan masa silam. Ada teman yang masuk ke birokrasi atau jadi politisi. Mereka bangga dengan pekerjaannya, tapi ada juga yang berkeluh kesah susah naik pangkat dan tidak ada peluang dapat jabatan. Saya bersyukur, sampai hari ini tidak ada KPK yang datang karena mereka tertangkap tangan.
Ada yang jadi pengusaha atau kontraktor kecil-kecilan. Sebagian berhasil, sebagian lagi hanya bisa mengintip proyek-proyek Pemda. Di bagian ini ceritanya sedikit agak ngeri; ada yang terjebak hutang, atau jadi terdakwa karena main uang.
Tearkhir, saya kembali bertemu dengan teman-teman yang pekerjaannya antara ada dan tiada. Tidak mau disebut sebagai pengangguran, tapi sulit untuk dibilang punya pekerjaan yang menghasilkan. Saya bersedih karena di antara mereka ada yang punya masalah kesehatan jiwa, baik karena pengaruh narkoba, terjebak hutang, atau judi online.
Seingat saya, mereka bukan orang pemalas, hanya saja harus ikut bermain dalam sistem yang tidak transparan hingga terjebak jadi gelap mata. Sepanjang ingatan saya, tidak satupun teman kecil saya bercita-cita jadi gila ketika menua.
Apa yang telah diperbuat oleh kota ini kepada teman-teman kecil saya?!
Bisa jadi, sebabnya karena kota kecil ini punya sumberdaya yang sangat terbatas. Wilayah pertanian bukan, pusat perdagangan bukan, kota pendidikan belum sepenuhnya jadi kenyataan. Mimpi dan harapan warganya masih berupa istana kertas. Dan, tanpa mimpi dan harapan, orang mudah jadi gila.
Benarkah sumberdaya kota Metro terbatas?
Mari sejenak kita menengok Singapura –kota kecil yang bertransformasi menjadi negara dengan kekuatan ekonomi dan teknologi raksasa. Mari sejenak kita bandingan, apa bedanya kota Metro dengan kota Singapura?
Di era tahun 70-an, Singapura dengan sadar mengakui bahwa mereka tak punya sumber daya alam, tak punya tentara yang sanggup berperang, tidak memiliki destinasi wisata lebih banyak dibanding sebagian saja wilayah di .ujung selatan Sumatera.
Lantas, mengapa sekarang Singapura jauh lebih unggul dibanding kota Metro?
Saya punya dugaan. Pertama, mereka menciptakan peluang. Singapura tahun 70-an adalah kota kecil yang jujur mengakui keterbatasan. Orang yang jujur akan punya harga diri untuk melawan takdir dan garis tangan. Kaum cerdik cendikiawan bergotong-royong merancang taktik agar Singpura tidak kalah atau mati tenggelam.
Kekuatan ada pada titik ordinat Singapura di dalam peta. Mereka ada di titik persilangan peredaran barang dan jasa. Mereka membangun teknologi, sistem kerja, bandara dan pelabuhan yang rapih, cantik, dan bersih agar pesawat-pesawat negara lain mau transit, kapal-kapal dagang punya saudagar bangsa lain mau bersandar.
Bayangkan: peluang yang diambil adalah titik ordinat dalam peta –sesuatu yang sama sekali tidak membutuhkan usaha karena memang sudah takdir dari semesta.
Apa yang bisa membuat kota kita ini bisa cepat berkembang? Menciptakan peluang, bukan hanya merengek karena kita punya banyak keterbatasan. Untuk menciptakan peluang dibutuhkan warga kota yang kreatif, birokrasi yang efektif, pejabat dan politisi yang tidak manipulatif dan doyan berperilaku koruptif.
Dari sudut pandang menciptakan peluang inilah, memperpanjang detak nafas Payungi dan gagasan pemberdayaan warga jadi kewajiban semua orang. Gotong royong. Bersama-sama.
Hanya dalam waktu tiga tahun saja, anak muda penggerak pemberdayaan Payungi sudah menyebar ke berbagai desa dan kelurahan dengan jangkauan gagasan yang menyebar nyaris ke semua sudut wilayah Lampung.
Apa yang jadi kunci kelahiran para penggerak pemberdayaan?
Rahim. Kandungan. Inkubator. Anak-anak muda yang punya kepedulian diidentifikasi dan dipetakan, mereka diajak bicara dan berbaur dengan detak kehidupan warga. Mereka dilatih untuk meretas jarak antara teori yang ada di buku dan beban yang ada di bahu rakyat.
Saya tidak sedang menyanjung Singapura. Dia hanya sebuah negara kota. Orang-orang Singapura gemetar ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia 76 tahun silam. Warga kota itu masih bekerja sebagai kuli pelabuhan ketika leluhur tanah Lampung sudah tekun menulis Kitab Kuntara Raja Niti pada abad ke-14 silam. Kitab yang sudah memberi pelajaran penting tentang nilai-nilai budaya agar kita bisa jadi pemenang.Piil Pesenggiri.
Piil Pesenggiri berisi ajaran yang saling terkait. Juluk-Adok, nama dan identitas yang dibuat untuk menjaga marwah dan harga diri; Nemuy-Nyimah –ramah dan pemurah; Nengah-Nyepur –toleransi dan kerjasama; Sakai-Sambayan –senang tolong menolong dalam semangat kekeluargaan.
Piil mungkin istilah yang paling sering disalahartikan. Istilah piil bisa disepadankan dengan istilah sirri dalam budaya Bugis, Warok atau Carok dalam budaya Jawa Timuran, Marwah atau Wara’ dalam terminologi ajaran agama Islam. Dignity dalam bahasa Inggris.
Piil bukan tentang sikap gampang marah ketika dipandang rendah. Piil bukan tentang bangga karena punya jabatan dan terpandang di antara orang miskin. Pada tempat yang pertama, Piil Pesenggiri bersifat personal dan spiritual: Bagaimana kita memandang diri sendiri agar hidup bermanfaat sekaligus bermartabat.
Piil adalah rasa malu hati jika kita tidak berbuat baik atau bermanfaat pada sesama. Rasa malu itu ada di dalam hati, bukan rasa yang datang dari luar, atau datang dari pemaksanaan pada orang lain agar tunduk dan menaruh hormat.
Kalau anda diberi kesempatan oleh Tuhan untuk sekolah dan punya gelar akademis, anda malu jika datang meminta-minta pekerjaan pada pemerintah atau pengusaha. Jika anda pedagang, anda malu hati jika mengandalkan fasilitas dan kredit tanpa bunga. Jika anda lelaki kepala keluarga, anda akan malu jika main tangan dan merendahkan perempuan. Jika anda ulama atau pendeta, anda akan malu menyaksikan kemiskinan dan ketidakadilan. Jika anda pejabat pemerintah, ada akan malu untuk berbagai alasan.
Saya menulis pidato ini dengan rasa malu yang nyaris tidak tertahankan. Saya belum banyak berbuat. Saya hanya remah-remah diaspora yang melempar kritik dan menudingkan dengan tangan.
Pidato ini bukan untuk anda. Pidato ini adalah sebuah pengakuan bahwa saya, warga masyarakat, masih punya banyak kelemahan. Tapi, lewat pidato ini, saya ingin memastikan pada diri saya sendiri, kita masih punya harapan. Kita pasti bisa menciptakan peluang. Salah satu caranya melalui jalan Pemberdayaan.
Menurut saya, Payungi adalah contoh baik bagaimana gagasan pemberdayaan diejawantahkan. Dan, tiap kali berpikir tentang apa yang kuat dibalik capaian Payungi, saya teringat pada dua cerita tentang Nabi Musa.
Cerita pertama seperti yang ditulis oleh Paulo Coelho dalam bukunya Like the Flowing River, Seperti Sungai yang Mengalir. Suatu hari di Dermaga Miami, dua lelaki tua bicara tentang sejarah Musa menyeberangi Laut Merah. “Kita terlalu percaya pada cerita dan filem-filem,’ kata lelaki yang pertama, ‘bahwa Musa dan kaum Israil yang sedang dikejar-kejar bala tentara Firaun gemetar ketakutan ketika mereka sampai di tepi Laut Merah. Tidak ada jalan keluar. Masuk ke laut sama saja menjemput ajal. Lalu Tuhan memerintahkan Musa mengangkat tongkatnya yang membuat laut terbelah dan mereka bisa menyeberang dengan selamat.”
“Sebenarnya,’ lelaki yang kedua meralat, ‘yang ditulis dalam kitab injil tidak seperti itu melainkan justru Tuhan menyuruh Musa agar memerintahkan bani Israil tetap melangkah, berjalan masuk ke laut. Barulah ketika air sudah setinggi dada, Tuhan memerintahkan Musa mengangkat tongkatnya. Laut terbelah dan mereka berjalan dengan aman dengan aman.”
Kata kunci pemberdayaan Payungi yang pertama: Melangkah! Tuhan ingin kita berani melangkah menyeberangi lautan persoalan, setelah kita bergerak, barulah Tuhan menurunkan pertolongan.
Cerita kedua disampaikan oleh guru saya, Almarhum Damarjati Supadjar, dosen filsafat di Universitas Gadjah Mada. Di antara para aktifis mahasiswa tahun 90an, beliau berkata, “Teladani strategi Nabi Musa.” Untuk melawan penindasan, Musa tidak memukulkan tongkatnya ke kepala Firaun dan membunuhnya. Musa bekerja bersama orang yang paling tertindas. Musa membangun solidaritas. Yang membunuh Firaun bukan Musa melainkan gelombang lautan. Gelombang laut itu artinya adalah komunitas yang berdaya dan kuat. Mebangun solidaritas bukan dengan cara berkacak pinggang di hadapan pejabat, apalagi ikut-ikutan mengemis proyek dan kucuran anggaran.
Kata kunci pemberdayaan Payungi yang kedua: membangun solidaritas.
Dua kata kunci tersebut: melangkah dan membangun solidaritas adalah inti dari kata Gotong Royong. Sakai Sambayan.
Payungi bisa jadi tempat yang baik untuk belajar. Bukan karena Payungi telah sempurna dan lengkap, melainkan justru karena di Payungi membuka diri untuk terus belajar dan bekerja sama.
Mari kita perhatikan ungkapan para penggerak Payungi ini: Siap salah, menolak kalah. Coba ucapkan lagi pelan-pelan. Siap salah. Menolak kalah.
Bukankah ada semacam rasa percaya diri yang kuat, yang bersanding dengan rasa rendah hati yang tetap diberi tempat? Semacam semangat untuk terus belajar sekaligus berkabar bahwa warga yang bersatu tidak mudah dipukul atau dihajar.
Saya tidak tahu darimana semangat Payungi datang dan terus berkembang. Mungkin para pegiatnya pernah satu hari sungguh-sungguh merenungi syair Kidung Wahyu Kolosebo yang tadi sama-sama kita dengarkan. .
Rumekso ingsun laku nisto ngoyo woro
Kujaga diriku dari laku nista dan sekehendak hati
Kelawan mekak howo, howo kang dur angkoro
Kukendalikan dorongan dalam diri yang diliputi angkara
Senadyan setan gentayangan, tansah gawe rubedo, hinggo pupusing jaman
Walaupun godaan selalu bikin gangguan sampai tiba akhir jaman
Selamat Ulang Tahun yang ketiga untuk Payungi.
Sebagai warga kota Metro, saya ingin mengucapkan berterima kasih. Meski kerja masih panjang, tapi kalian, para penggerak, sudah mengembalikan keyakinan bahwa Metro adalah kota yang layak untuk dihuni.
Meski banyak yang masih perlu disempurnakan, kalian, para pegiat yang bahu membahu bersama warga, telah membuktikan bahwa perubahan itu mungkin terjadi.
Gagasan dan kerja-kerja Payungi membuat orang seperti saya tidak perlu terlalu sering patah hati.
Dengan satu dan lain cara, Payungi adalah hasil kerja kita semua.
Mari kita rayakan bersama!
Panjang Umur Pemberdayaan.
Assalamu’alaikum Warrahmatullah Wabarrakatuh.
Discussion about this post