“Market (Pasar) bisa diciptakan”, demikianlah kata yang seharusnya berdampingan dengan kata “mencari pasar”, bagaimana bisa menciptakan pasar, tidak hanya mencari pasar. Pergerakan ekonomi, dapat diciptakan apabila adanya kerjasama dan korelasi yang kontinu. Tidak hanya butuh inofasi dan trik dari sebuah teori saja, melainkan harus ada ambisi membangun kesadaran untuk dapat menggerakkan roda perekonomian dengan tidak mengenyampingkan keseimbangan, keadilan. yang paling penting adalah saling menghidupkan, bukan saling memperebutkan apalagi mematikan pangsa pasar dari salah satu pihak (yang notabene lebih lemah).
Pasar dapat diciptakan dengan bergerak bersama-sama, merangkul Mereka yang belum terkotori oleh usaha kapitalisme. Penciptaan pasar tersebut sekaligus melepas ketergantungan terhadap kapitalisme, asal benar-benar menunjukkan konsistensi dan kekompakannya. Penciptaan pasar seperti itu pada nantinya dapat di desain sedemikian rupa, dari mulai pola produksi, pola prilaku dan lain sebagainya. Sehingga mengeliminir kerusakan lingkungan.
Dengan membangun sebuah gerakan bersama masyarakat, maka akan tercipta sebuah market yang saling menghidupkan. Melerai persaingan yang mematikan, serta menumbuhkan rasa kedermawanan. Seperti halnya apa yang sudah dilakukan di kawasan Metro Pusat Provinsi Lampung, tepatnya di Kelurahan Yosomulyo. Setelah menghidupkan brand Yosomulyo Pelangi, warga, pemuda, mahasiswa dan akadimisi kini mulai bersatu, memikirkan dan merealisasikan pembentukan pasar, yang disebut Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi).
Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi) sendiri terletak tepat di Kelurahan Yosomulyo, Kecamatan Metro Pusat Kota Metro, Lampung. Payungi resmi dibuka pada 28 Oktober 2018 lalu, dengan diresmikan langsung oleh Wali Kota Metro, Ahmad Pairin, S.Sos. Banyak hal yang dapat dipelajari dari terbentuknya Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi) ini. Bukan hanya soal aktivitas jual dan beli, bukan hanya soal membuat produk, melainkan tentang bagaimana menggerakkan warga, untuk bisa menciptakan pergerakan ekonomi, juga tentang bagaimana memberikan kesempatan warga, untuk beraktivitas yang bernilai ekonomis. Bukan hanya itu, tetapi juga menyadarkan banyak kalangan anak muda (mahasiswa contohnya), tentang bagaimana berinofasi, dan belajar menjadi produsen untuk membangun mentalitas yang baik dalam bidang enterpreneurnya.
Payungi juga mengajarkan bagaimana konsep pasar dan perilaku enterpreneur yang tetap memperhatikan keramahan lingkungan, dan mengangkat kebiasaan tradisional, sebagai suatu hal yg sudah lama membudaya di Indonesia. Seperti halnya para pedagang ditekankan untuk membuat produk makanan dari olahan singkong, minum dengan menggunakan gelas bambu dan menyediakan permainan anak tradisional. Menciptakan pasar, memberikan kesempatan masyarakat untuk berprilaku ekonomis dan kreatif serta secara tidak sadar menghilangkan doktrin budaya kebarat-baratan.
Payungi adalah market yang menghidupkan, begitulah jika penulis boleh menyebutkan. Mengutamakan masyarakat sekitar untuk dapat berjualan dan sama sekali tidak mematikan toko-toko masyarakat yang lain misalnya. Beda halnya dengan market yg dibangun bukan atas dasar gerakan warga, maka sifatnya cenderung menyaingi warga sekitar, terutama menggeser pangsa pasar dari toko-toko kecil di sekitarnya. Seperti itu singkatnya.
Pasar Yosomulyo pelangi ini selaras dengan program-program pemerintah terkait dengan penciptaan desa mandiri. Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengupayakan adanya dana desa agar dapat dimanfaatkan untuk menambah kesejahteraan desa dan warganya. Misalnya dengan menciptakan BUMDes, BUMDes dapat didanai dengan Dana Desa untuk mendukung sektor-sektor produksi guna menambah pendapatan desa. Pada intinya pemerintah ingin menciptakan desa-desa yang mandiri dengan mengangkat potensi-potensi lokal, meningkatkan tingkat produktivitas desa sesuai dengan potensi masing-masing. Semua itu untuk menghadapi persaingan yang semakin global.
Jika kita melihat saat ini banyak perebutan pasar, yang pada kenyataannya banyak dimenangkan oleh kaum borjuis, tanpa memperhatikan kaum marhaenis (sebutan kaum bawah, meminjam bahasa Soekarno). Dengan seperti itu, akan semakin mempersempit ruang gerak pedagang2 kecil, terlebih pedagang tradisional. Bersamaan dengan bisnis-bisnis property seperti Sumarecon di Serpong yang menyediakan hunian bisnis dan hunian tinggal, serta beberapa perusahaan pengembang lainnya, secara arsitektur dan regulasi sama sekali tidak permisif dengan pedagang2 masyarakat bawah. Apabila perusahaan-perusahaan pengembang seperti itu masif dalam ekspansi, tentu sudah bisa diperkirakan bagaimana nasib mereka, masyarakat yang bermodal rendah ketika ingin berwirausaha. Terlebih mereka yang tradisional.
Menciptakan pasar dengan bersama-sama masyarakat adalah langkah yang menarik untuk ditawarkan, mengingat semua itu dapat dilakukan dengan gotong royong, yang merupakan budaya orang timur. Pasar yang terbentuk atas dasar bersatunya warga dan atas dasar kesadaran warga serta kreativitas lokal, akan jauh lebih menjamin keberlangsungan kegiatan perekonomian. Maka dari itu, tindakan-tindakan kolektif seperti yang sudah dilakukan di Pasar Yosomulyo Pelangi adalah langkah positif, terkategori sebagai pemberdayaan masyarakat.
Pasar Yosomulyo Pelangi merupakan market yang menghidupkan. Tidak banyak merugikan, justru dapat memunculkan budaya cinta alam dan lingkungan. (WEPO)
Discussion about this post