Bismillahirrahmannirrahim.
Ibu dan Bapak yang budiman,
Para pejuang kemanusiaan yang saya hormati,
Terimalah salam kami, salam penuh cinta dan kedamaian.Assalamualaikum Warrahmatullah Wabarrakatuh
Tabik pun.
Adalah satu kehormatan bagi saya, diberi ruang untuk menyampaikan refleksi perjalanan “MENJADI PEREMPUAN” dalam pidato kebudayaan untuk merayakan kemandirian perempuan 4 tahun Payungi.
Saya mengawali pidato ini dengan beberapa quote penting beberapa guru saya;
Prof Irwan Abdullah dalam pengantar buku Sangkan Paran Gender menuliskan bahwa
“Suara-suara perempuan harus didengar dan direkam dalam usaha mempertanyakan terus menerus keabsahan sebuah teori”. (Irwan Abdullah, 2006)
Nyai Nur Rofiah Founder Ngaji KGI dalam buku Nalar Kritis Muslimah juga mengatakan “Cara kita menyikapi pengalaman perempuan, baik secara biologis maupun sosial, akan menentukan keadilan jenis apa yang kita berikan pada perempuan’. (Nur Rofiah, 2020)
Dua pesan guru-guru saya ini, penting untuk menjadi pijakan bahwa dalam membangun pengetahuan, melahirkan kebijakan, mendesain program pendampingan dan pemberdayaan masyarakat, untuk selalu bersetia memperdengarkan suara perempuan dan menghadirkannya sebagai aras.
Karena perempuan sebagai entitas yang sempurna kemanusiaannya adalah nyata, Maka menghadirkanya dalam setiap gerakan sosial dan kehidupan adalah niscaya
*****
Kesadaran Perempuan yang “Becoming”
Menjadi perempuan, bagi saya seperti yang dikatakan ibu Saparinah Sadli, adalah proses menjadi: bertumbuh, berkembang menjadi sampai akhirnya mati. Proses becoming adalah proses yang mengandaikan pencarian jati diri untuk menjadi manusia utuh yang memberi dampak manfaat pada setiap kehadirannya.
Sering kita mendengar orang mengatakan, ‘kita perlu merasakan dulu secara pribadi isu yang gigih kita perjuangkan karena hanya melalui itu kita benar-benar mengerti kedalaman dan kompleksitas persoalannya”.
Kita mendengar dan melihat ada banyak penyintas kekerasan dalam keluarga, menjadi pendamping yang sangat empatik dan memberdayakan. Pun kita melihat pendamping kelompok minoritas atau marginal; buruh perempuan, disabilitas, anak berkebutuhan khusus, mereka dengan gigih mendampingi karena memiliki pengalaman atau beririsan pengalamannya dengan kelompok yang didampinginya. Bisa jadi pesan ini benar, tapi kebenarannya tidak selalu.
Masa kecil saya hingga dewasa dan mulai menua, nomade dari satu kota ke kota lain dalam kurun waktu sepeminuman segelas air teh panas atau sampai menghabiskan bergalon-galon air tanah di sebuah kota. Semua kota memberikan referensi pengalaman hidup yang beragam.
Saya menyaksikan kehidupan perempuan dengan berbagai wajah, dan semuanya selalu menarik perhatian. Menyaksikan perempuan berjuang menghadapi pengalaman biologis dan sosialnya, kadang melahirkan empatik, tapi tak jarang justru memantik emosi, amarah, dan pada titik tertentu berujung pada dendam.
Hal sederhana, sejak masa kanak-kanak, saya sering meluapkan emosi kemarahan saat menyaksikan saudara sepupu perempuan saya digoda dan dilecehkan oleh sekelompok laki-laki dengan keramahan palsu, cat calling. Saya lempar sandal saya ke arah mereka untuk menghentikan candaan yang melecehkan. Respon kemarahan anak perempuan usia 9 atau 10 tahun bernama mufiha untuk melawan kekerasan yang disaksikannya.
Ada beberapa rekaman masa kecil yang belakangan saya refleksikan bahwa saya telah terpapar feminisme sejak kecil. Feminisme dalam konteks pemihakan pada ketidakberdayaan berbasis gender, yang dalam nalar masa kecil saya ingin ‘menjaga dan menemani’ perempuan
Saya merekam aktifitas perempuan di keluarga saya; ibu, nenek, tante, sepupu, sebagai perempuan yang memiliki etos dan kemandirian. Mereka adalah powerful figure, memiliki posisi tawar dan otoritas di ruang-ruang tertentu dalam relasi keluarga maupun sosial, walaupun tidak selalu mendominasi. Karena sebagai anak kandung patriarkhi, privilege itu tidak begitu saja membebaskan mereka dari domestifikasi dan dominasi. Tapi ruang dan posisi tawar yang mereka miliki, telah menghantarkan saya pada satu kesadaran, bahwa perempuan harus memiliki etos, mandiri, dan berdaya.
Selain pengalama dalam keluarga, saya acapkali menjadi telinga bagi perempuan yang ingin berkeluh kesah. Mereka kadang dengan lugas mengisahkan pengalaman-pengalaman pahit agar tidak mengendap menjadi racun dalam tubuh. Kadang juga ada yang terbata menguraikan keruwetan problem hidup yang membelenggu aktifitasnya.
Problem relasi keluarga menjadi tema yang secara setia saya simak. Problem ekonomi, perselingkuhan, lingkaran setan kekerasan dalam rumah tangga dan detil-detil kerumitan hidup yang membatasi gerak perempuan beraktifitas dengan sehat. Saya tidak menawarkan obat atau solusi atas problem mereka. Karena saya sadar, merekalah yang lebih otoritatif memutuskan jalan keluar yang dipilih. Saya hanya menyediakan telinga, menyambungkan energi positif, sembari belajar dari pengalaman banyak perempuan.
Kisah mereka juga menghantarkan pada satu kesadaran bahwa perempuan harus berdaya.
Mendengarkan Pengalaman Perempuan.
Dalam filsafat llmu, utamanya empirisme, bersepakat bahwa pengalaman adalah basis pengetahuan. Sepanjang peradaban manusia, ruang sosial, politik, ekonomi, perkawinan, keluarga bahkan dunia, laki-laki menjadi aras utama dan perempuan berada pada tepian yang tidak tampak. Dominasi dalam ruang kehidupan kongkret, terkristral dalam alam pikiran tempat pengetahuan bersemayam.
Dalam nalar gerakan feminisme, pengalaman perempuan secara otentik juga dipandang sebagai basis pengetahuan. Proses-proses membangun pengetahuan dimulai dari memperdengarkan pengalaman yang berlapis-lapis kompleksitasnya. Merefleksikannya secara kritis, untuk mendedah akar masalahnya hingga membongkar bongkahan relasi kuasa. Pengalaman perempuan adalah kekuatan dan pengetahuan, yang selama ini tidak diekspos dan diperhatikan karena dianggap tidak penting sehingga tidak tercatat dalam sejarah kemanusiaan.
Saya teringat dalam studi hukum keluarga Islam yang saya geluti. Bangunan norma-norma hukum keluarga Islam juga dilandaskan pada banyak pengalaman perempuan. Sahabat perempuan pernah berbondong-bondong mengadu pada nabi tentang kekerasan yang dilakukan oleh para suami. Pengaduan sahabat Habibah yang tak lagi bisa hidup bersama suaminya Tsabit bin Qois, juga menjadi landasan norma perceraian yang diajukan oleh istri atau dikenal dengan istilah khulu’. Padahal dalam tradisi Arab, cerai adalah privilege bagi laki-laki kapanpun ia menghendaki dengan atau tanpa alasan.
Nabi Muhammad juga pernah mengizinkan sahabat perempuan untuk mengambil uang secukupnya dari suaminya yang tak memberinya nafkah. Ya, Nabi Muhammad, membuat keputusan dan norma hukum dengan mendengar aduan dari pengalaman perempuan. Tentu ada lebih banyak kisah lain di mana nabi Muhammad meneladankan pemihakan dan memperdengarkan pengalaman perempuan.
Ibu Bapak yang Budiman, Para penggerak yang saya banggakan.
Saya ingin Kembali mengutip quote dari Mahatma Gandhi
Banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan kaum wanita kita. (Gandhi)
Sudah terlalu banyak tinta ditumpahkan untuk menulis pengalaman pahit domestifikasi, marginalisasi, opresi dan kekerasan terhadap perempuan dan teoretisasinya. Catatan-catatan ini harus dilanjutkan, karena pengalaman perempuan tidaklah tunggal, punya banyak wajah dengan lapisan-lapisan yang berbeda. Kerja-kerja mendengarkan pengalaman perempuan tetap relevan untuk mencatatnya sebagai kerja intelektual, mengadvokasi sebagai kerja pendampingan dan pemberdayaan, atau pada titik tertentu menghadirkannya sebagai basis merumuskan kebijakan yang memberdayakan.
Satu waktu, anak laki-laki saya yang sedang tumbuh dewasa mengajukan pertanyaan kritis tentang aktifitas yang saya lakukan. Kebetulan 6 bulan lebih dia mengamati secara langsung berbagai aktifitas saya di isu perempuan.
“Mama, apakah feminisme itu penting untuk kita orang Indonesia, wong sudah banyak perempuan yang berkiprah di luar rumah?”
Dalam pikiran sederhananya, feminisme adalah perjuangan kesetaraan untuk sama-sama bekerja seperti laki-laki.
Di lain waktu, dia kembali bertanya tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Tentang kewajiban nafkah, pembagian peran dalam keluarga, tentang potensi kerentanan perempuan mengalami kekerasan. Pertanyaan-pertanyaan yang dipicu oleh praktik berelasi yang diamati dari kedua orang tuanya dan beberapa kali menyimak rapat online saya bersama komunitas untuk mengadvokasi lahirnya kebijakan tentang kekerasan seksual di satuan pendidikan.
Dari pertanyaan-pertanyaan sederhana ini saya merefleksikan dua hal; Pertama, saya semakin percaya bahwa kesadaran adil gender, perlakuan memanusiakan perempuan dimulai dari relasi keluarga. Internalisasi nilai-nilai keadilan, kesetaraan, kemanusiaan sangat efektif dilakukan melalui keluarga sebagai entitas sosial terkecil. Replikasi dan duplikasi prilaku adil gender dari pengalaman keluarga akan membatin dan terinternalisasi sebagai mental model yang membentuk cara pandang dan cara laku. Dalam bahasa agama, kita menyebutnya uswah hasanah.
Kedua, tentang pertanyaan pentingkah feminis untuk konteks Indonesia, kembali menyadarkan bahwa sejak dulu, dalam sejarahnya Gerakan perempuan memang tidak tunggal, beragam dan banyak wajah. Ekspresi dan bentuk perjuangannya dipengaruhi oleh situasi, konteks dan pengalaman khas yang menjadi latar belakang perjuangannya.
Kita mengenal feminisme liberal, yang memperjuangkan dibukanya akses dan partisipasi perempuan di ruang-ruang publik. Feminisme radikal dengan pengalaman kebertubuhannya, memperjuangkan otoritas perempuan atas tubuhnya. Feminisme posmo, psikoanalisis dan ekofeminisme hadir untuk memperjuangkan isu pada ruang dan konteks sesuai dengan pengalamannya.
Penolakan dan resistensi terhadap gerakan perempuan di Indonesia di awal tahun 80-an misalnya, oleh Buya Husein Muhammad dikritik karena mengabaikan konteks dan budaya religiusitas masyarakat Indonesia. Alih-alih mendapat dukungan untuk kerja kemanusiaan, justru resistensi dan pelecehan terhadap gerakan perempuan semakin menguat.
Meminjam istilah Gus Dur, jika ingin berhasil mengembangkan wacana adil gender di Indonesia, maka perlu dilakukan pribumisasi isu gender ke dalam corak keislamaan (Baca: religiusitas) dan keindonesiaan. Keislamaan yang berlandaskan pada tauhid penghambaan hanya dan hanya pada Tuhan Rabbul Izzati, dan keindonesiaan yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur gotong royong, kerjasama dan tepo seliro. Yang dibutuhkan adalah gerakan perempuan yang genuine Indonesia.
Ibu, bapak yang Budiman, dan para penggerak yang saya banggakan.
Kembali pada kontek Gerakan perempuan khas Indonesia. Jika mubadalah lahir dari kristalisasi proses akademik tentang pembacaan teks secara resiprokal yang terus berkembang menjadi sebuah paradigma, Komunitas Tanoker Ledokombo-Jember berkembang sebagai agen perubahan masyarakat berbasis budaya. Payungi hadir dengan gagasan-gagasan pemberdayaan yang becoming, bertumbuh secara organic dan suitain hingga hari ini.
Masih segar dalam ingatan, ketika Saya membawa tamu luar kota ke Payungi, pada gelaran awal. Tamu saya bergumam. “Gerakan pasar rakyat macam ini paling hanya bisa bertahan dalam hitungan 3-4 bulan. Kecuali ada stok ide-ide segar untuk membuat tema-tema baru dalam setiap gelaran”. Saya tak ingin berbantahan tentang ketidakpastian masa depan, khawatir gudeg sundari yang saya nikmati berubah rasa jadi asam. Yang pasti, saya melihat Payungi bukan pasar kaget atau pasar tiban. Dan hari ini Payungi memberi bukti, panjang usia pemberdayaan.
4 Tahun Payungi: Merayakan Kemandirian Perempuan, mensyukuri atas hadirnya perempuan pada aras gerakan. Mata awam melihat bahwa Payungi adalah pasar rakyat yang digerakkan oleh banyak perempuan. Mata batin melihat Payungi bukan sekedar pasar penganan, tapi pasar yang mempertemukan banyak gagasan dan harapan tentang kemandirian. Ada nilai yang dijajakan, tentang gotong royong, kebersamaan, kesalingan, dan kerelaan untuk tumbuh bersama. Ada anjuran berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirat) yang sangat memotivasi, tapi dalam Payungi saya melihat tolong menolong dalam kebaikan (ta’awanu alal birri) menjadi spirit yang terus digelorakan.
Perjalanan Payungi dalam gerakan kemandirian perempuan
Women and Enviroment Studies dan Pesantren Wirausaha adalah ruang aman untuk belajar tentang banyak hal. Proses refleksi dan mereproduksi pengetahuan berjalan dalam setiap minggunya dalam forum liqo. Secara periodic WES juga membersamai perempuan-perempuan muda dalam sekolah penggerak perempuan. Di Pesantren Wirausaha, Perempuan belajar tentang agama, berlatih skill enterpreuner, penyadaran tentang lingkungan hidup, mengakrabi teknologi yang tidak mudah bagi sebagian imigran digital. Tapi mereka bersetia untuk terus belajar.
Ekonomi kreatif yang digerakkan Perempuan Payungi bertumbuh, mulai dari kuliner, fashion, kriya, music dan film. Bergerak di atas kreatifitas tanpa batas. Founder Payungi berulang kali menegaskan, pertumbuhan ekonomi bukan lagi menjadi tujuan utama, tai keberdayaan yang terlihat nyata dari sikap, argumen, dan kemandirian berpikir hingga memunculkan karakter. Pengetahuan, pengalaman, kebiasaan dan praktik baik yang akan membawa mereka pada posisi yang berbeda dari sebelumnya.
Muflih adalah orang yang kondisinya hari ini lebih baik dari kondisi sebelumnya, dan situasi masa depannya juga harus lebih berdaya dari hari ini. Keberdayaan perempuan, tidak dalam konteks untuk mengungguli, pasangan mitranya, sekali lagi TIDAK DALAM KONTEKS MENGUNGGULI LAKI-LAKI, melainkan menjadi pasangan mitra setara, dalam menebar kebaikan dan kemanfaatan di muka bumi ini.
Kehadiran perempuan di Payungi, tidak seperti paradigma women in development atau women and development, yang mengandaikan perempuan sebagai entitas berbeda yang tidak menyatu dalam gerakan. Tapi perempuan menjadi arus utama bersama laki-laki, menjadi subyek penuh yang secara bersama-sama bertumbuh dan becoming dalam Payungi.
Di penghujung pidato saya, saya ingin menyampaikan pengakuan dosa, bahwa sebagai teman kritis bagi perempuan, saya sering absen dalam kerja-kerja pemberdayaan di level grass root. Tidak ingin bermaksud mencari pembenaran, tapi bahwa gerakan perempuan harus bersifat kolektif dan dilakukan bersama-sama, meski dalam ruang dan bilik yang berbeda. Berbeda ruang dalam rumah yang sama untuk memperjuangkan kebernilaian dan kemanfaatan diri perempuan sebagai manusia utuh mitra laki-laki di muka bumi ini.
Sebagai kalam akhir, saya mengutip
Selamat Ulang Tahun yang Keempat untuk Payungi.
Bersetialah pada kebaikan untuk terus ditularkan.
Panjang Umur Pemberdayaan , Panjang Usia Kebaikan
Mari Rayakan kemandirian Perempuan.
Assalamu’alaikum Warrahmatullah Wabarrakatuh.
Discussion about this post