Jauh sebelum menteri Nadiem memunculkan gagasan guru penggerak, dosen penggerak dan lainnya, saya sudah 2 tahun ini menyematkan kata penggerak #AyokeDamRaman dan 1 tahun 3 bulan penggerak Pasar Yosomulyo Pelangi. Mengapa demikian? Karena saya sebenarnya tidak mau disebut pimpinan, ketua, penggagas, dan sebutan yang membuat kita merasa hirarkinya paling tinggi. Seolah kita paling hebat diantara lainnya. Kata penggerak itu lebih egaliter, alasannya simple kita pribadi bukan siapa-siapa dan tidak bisa melakukan apa-apa tanpa orang lain.
Namun itu tidak berlaku umum. Pada kondisi tertentu alasan birokrasi, organisasi, struktur masyarakat sebutan ketua atau nama pimpinan yang lain juga diperlukan. Tapi substansinya begini, penggerak itu cara kita untuk merasakan bahwa setiap individu yang berinteraksi dengan kita, sama hak nya meskipun berbeda kewajibannya. Namanya kewajiban itu juga bergantung kesadaran, sebagai seorang penggerak kesadaran merasa sama saja dengan orang lain menunjukkan kita sebagai manusia punya empati.
Jika kita masih silau dengan atribut, jabatan, panggilan elitis yang disematkan warga, tandanya kita kurang panggung. Toh masyarakat juga tahu bahwa kita adalah salah satu individu yang mengajak mereka sekaligus juga memimpin mereka. Jadi tanpa embel-embel tersebut mereka sudah siap kita pimpin dalam gerakan. Maka penggerak harus menyadari bagaimana struktur simbolis yang membuat jarak itu, harus kita cairkan dengan komposisi yang lebih rileks dan guyub.
Tugas penggerak itu merebut hati para warga. Pendekatannya banyak sesuai dengan kondisi individu warga masing-masing. Ada yang menggunakan spiritual, sosial, sense, bahkan kepada para elit kolot, kita wajib menggunakan simbol yang kita miliki untuk menjinakkan cara berpikir elit yang keras kepala. Namun elit tidak banyak, maka fokus ke mayoritas warga biasa harus menjadi agenda utama. Pemberdayaan ya tujuannya untuk membuat mereka memiliki daya, kekuatan dan sikap mandiri berbasis gotong royong.
Pemimpin memiliki kewajiban sebagai penggerak. Dengan dia memiliki wewenang seharusnya dia bisa menggerakkan struktur. Seni penggerak memang harus dipelajari oleh para pemimpin. Mengandalkan modal atau anggaran kegiatan rutinitas saja tidak cukup. Dengan menjadi penggerak maka akan menumbuhkan ekosistem yang berkelanjutan. Para penggerak akan selalu punya cara menemukan ide, berkolaborasi dan mendaratkan pelan-pelan gagasan yang disepakati bersama.
Menjadi penggerak juga wajib memiliki kepekaan kepada orang banyak. Meskipun kita memimpin mereka, baiknya dengan cara-cara adat timur. Jangan adigang, adigung, adiguna, merasa paling pintar, paling bergelar dan paling berkuasa. Maka komunikasi harus seimbang, warga adalah sama-sama manusia. Saya beri contoh dalam Musrenbang, sudahi saja cara-cara norak duduk di atas dan warga di bawah. Sebaiknya duduk bersama di bawah, bersila, tanpa kursi dan bermusyawarah dengan akrab.
Jadi para pemimpin akan mendapati warganya tidak sungkan, usulnya sesuai kenyataan, tidak merasa takut dan aspirasi akan tersampaikan secara kekeluargaan. Sejauh ini eksekutif, legislatif dan yudikatif selalu membangun hirarki yang seolah-olah semakin menegaskan bahwa,”kalian warga hanyalah objek.” Kata subjek bagi warga itu hanya ada di pidato-pidato. Tandanya apa? dari kalian duduk saja selalu di atas panggung, maka wargamu wajar pada canggung. Silahkan saling koreksi. Demikian!
Discussion about this post