Gender-based Violence atau kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan sebenarnya punya berbagai macam bentuk. Notabene, tidak hanya kekerasan yang berbentuk fisik atau psikis saja, namun meluas hingga kekerasan yang melibatkan budaya atau adat istiadat dan kekerasan berbentuk struktural (Azizah dan Rahmawati; 2020). Isu kekerasan yang menimpa kaum perempuan akibat dari kebudayaan atau adat istiadat yang berlaku di suatu daerah ini, kini semakin mencuat ke permukaan. Sebab, perempuan kerap menjadi pihak yang sangat dirugikan dari hukum-hukum adat yang berlaku.
Melenggangnya kekerasan mengatasnamakan budaya merupakan bentuk pembengkokan terhadap warisan nenek moyang, kontruksi lama dari kolonialisme, dan penafsiran teks-teks agama secara dangkal. Akibatnya, perempuan menjadi kelompok yang paling tersudutkan dengan aturan-aturan adat yang sifatnya patriarkal. Seperti budaya khitan perempuan di Afrika dan Timur Tengah menjadi praktik mutilasi kenikmatan seksual dan kepuasan perempuan (pengendalian seksualitas perempuan). Fran Hosken dalam tulisannya yang berjudul ”Female Genital Mutilation and Human Right” menjelaskan bahwa telah terjadi ‘politik seksual pria’ di Afrika dan di seluruh dunia yang bertujuan untuk menciptakan ketergantungan dan kepatuhan perempuan kepada laki-laki (Hosken; 1981). Melalui hukum-hukum budaya yang telah mengakar tersebutlah, perempuan mengalami berbagai diskriminasi dan penundukan paksa.
Eksploitasi perempuan secara universal dan lintas budaya sebagai bentuk kontrol terhadap perempuan semakin nyata. Segregasi seksual juga menjadi problem di negara-negara di dunia, terutama di beberapa negara Islam (Deardon; 1975). Contoh di Pakistan, di mana perempuan harus menerima penaklukan, diskriminasi, hingga kekerasan sebagai bentuk penyalahgunaan adat-istiadat dan norma budaya tradisional Pakistan yang sebenarnya berbahaya dan melanggengkan pola pikir superioritas laki-laki Pakistan (Azizah dan Rahmawati; 2020).
Beberapa adat budaya Pakistan yang sangat membahayakan perempuan yaitu Kala-kali (honour killing bagi perempuan yang melakukan hubungan terlarang), Karo-kari (honour killing yang telah direncanakan secara budaya terhadap laki-laki ataupun perempuan yang melakukan hubungan terlarang atau pemberontakan, Swara (pernikahan paksa bagi anak-anak perempuan), Vanni (pernikahan anak yang dilakukan untuk menyelesaikan permusuhan antar suku/klan), dan Watta Satta (pertukaran pengantin antara dua keluarga) (Aurat Foundation; 2015). Rentannya kekerasan yang dialami oleh perempuan di Pakistan membuat negara ini menempati peringkat 153 dari 156 negara dengan kesetaraan gender terendah dan peringkat 7 dari 8 negara di Asia Selatan dalam survei Global Gender Gap 2021 (World Economic Forum; 2021).
Kekerasan berbasis gender akibat tebang pilih hukum adat juga terjadi di Indonesia. Terlebih Indonesia merupakan salah satu negara yang punya keragaman suku dan budaya. Sehingga, di setiap daerah punya hukum adat yang diakui atau masih dipraktikkan secara signifikan oleh masyarakat setempat. Tidak mengherankan jika mekanisme non-formal − melalui tetua adat − juga kerap menjadi forum penyelesaian beberapa kasus (terutama kasus kekerasan terhadap perempuan) di daerah. Misalnya, masyarakat adat di NTT (Nusa Tenggara Timur), khususnya di Kupang, Atambua, dan Waingapu menjadi salah satu komunitas yang hingga kini masih memilih lembaga adat dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan (Nafi; 2016).
Terdapat salah satu budaya yang masih dipraktikkan hingga saat ini oleh masyarakat adat di NTT, yaitu belis. Tradisi belis merupakan pemberian mahar untuk meminang perempuan di sana dan sekaligus sebagai simbol penghargaan dan pengakuan kepada harkat dan martabat seorang perempuan. Bentuk belis yang ditetapkan itu terdiri dari mata uang logam (terbuat dari emas, perak, maupun tembaga), ternak (kerbau dan babi), kain tenun (Nafi; 2016). Mirisnya, praktik belis di NTT telah mengalami pergeseran makna. Kini, tradisi ini seolah menempatkan perempuan tidak ubahnya sebagai komoditas dagang. Pasalnya, praktik belis yang terjadi sekarang ini diartikan sebagai simbol penyerahan penuh hak-hak perempuan kepada pihak laki-laki, sehingga dibanyak kasus, terdapat sikap sewenang-wenang dari pihak suami terhadap istri melalui berbagai tindak kekerasan. Bahkan tidak sedikit, suami melakukan perselingkuhan lantaran tubuh istrinya tidak sebagus dulunya – karena adanya perubahan fisik seperti gemuk, lusuh dan hitam.
Disamping itu, adanya permintaan mahar yang besar dari praktik balis, turut mendorong terjadinya kawin lari. Tidak sedikit, pihak laki-laki di NTT yang tidak sanggup melaksanakan tradisi belis kemudian mengajak perempuan (yang akan dinikahinya) untuk kawin lari hingga hamil di luar nikah (Merdeka; 2015). Karena di banyak prakteknya, belis sengaja digunakan untuk menaikkan mahar yang melampaui batas kemampuan pihak laki-laki dengan mengatasnamakan adat serta dikaitkan dengan masalah harga diri dan prestise. Menurut Rubenson A. Banfatin karena addanya pergeseran tradisi belis dari akibat masukkanya misionaris bangsa Portugis. Sejak itu, benda belis yang dulunya berupa sirih pinang diganti dengan gading gajah sebagai simbol kekuasaan dan laluhur. Kemudian berjalannya waktu benda belis diganti dengan uang (Banfatin; 2012).
Dalam realitasnya, terdapat banyak celah untuk melakukan tiindak kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan kepada kaum perempuan. Ruang-ruang budaya atau adat istiadat pun kerap disalahgunakan untuk melegitimasi kekerasan terhadap mereka. Tentu, upaya-upaya ini harus hentikan karena mengeliminasi perempuan dan tidak memosisikan mereka pada struktur yang setara dalam kehidupan sosial. Terutama terhadap kasus kekerasan yang mengatasnamakan kepentingan adat atau kelompok. []
Discussion about this post