Isu lingkungan kerap disandingkan dengan isu perempuan. Mengingat, keduanya mengalami nasib yang sama, di mana mereka mengalami eksploitasi, degradasi, termarginalkan, tersubordinat dan tidak jarang juga mengalami opresi. Perlakuan inilah kemudian mendorong lahirkan gerakan ekofeminsime yang memiliki agenda utama yaitu menuntut terpenuhinya hak-hak lingkungan dan perempuan sebagai makhluk hidup.
Lahirnya gerakan ekofeminsime tidak lepas dari jasa Francoise d’Eaubonne yang mengenalkan Revolusi Ekologis. Ia sangat meyakini bahwa perempuanlah yang memiliki potensi untuk melakukan revolusi tersebut, sebab kedekatannya dengan konsep Ibu Bumi (Mother’s Nature). Kerusakan ekologis yang disebabkan oleh desforestasi, pemanasan global, perubahan iklim, alih fungsi lahan dan punahnya keanekaragaman hayati menjadi akibat dari munculnya dominasi maskulinitas laki-laki. Sehingga ia pun lebih memilih memberikan kepercayaan kepada perempuan untuk melakukan Revolusi Ekologis.
Namun, mengakarnya budaya patriarki, pemikiran antropologis dan endrosentris seringkali menjadi hambatan bagi perempuan dalam menyelamatkan alam dan hak-haknya sebagai makhluk hidup yang setara di bumi. Munculnya pola pikir maskulin yang sejauh ini masih tertanam membuat hak-hak perempuan dan alam menjadi termarginalkan. Padahal, perempuan dan alam memiliki kesempatan untuk sama-samma eksis dan berkontribusi bagi keberlanjutan ekosistem kehidupan yang ada. Karen J. Warren mengungkapkan bahwa cara pikir hierarkis, dualistik dan menindas adalah pola pikir maskulin yang telah mengancam keselamatan perempuan dan alam. Pola pikir inilah yang seharusnya dirubah dengan pola pikir yang lebih etis, di mana lebih mengedepankan keseimbangan dan kesetaraan dalam hidup.
Tidak sedikit, potret para perempuan dalam menyelamatkan lingkungan mengalami hambatan. Beberapa contoh gerakan perempuan dalam upaya penyelamatan alam yang sangat heroik yakni seperti gerakan Chipko di India dan Green Belt Movement di Kenya. Gerakan Chipko merupakan gerakan yang diinisiasi oleh Vandana Shiva bersama para perempuan dari organisasi akar rumput di India. Mereka sepakat untuk mengehentikan penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dengan cara memeluk erat-erat pohon-pohon yang hendak ditebang dengan mesin. Upaya yang mereka lakukan tersebut selain untuk melindungi hutan (hutan bagi orang India memiliki makna sakral atau disebut Aranya Sanskrit), namun juga demi menjaga keberlangsungan hidup mereka. Mengingat, pohon memberikan empat kebutuhan bagi rumah tangga, yaitu makanan, bahan bakar, kebutuhan rumah dan penghaasil ekonomi rumah tangga. Sehingga, musnahnya pohon akan menyulitkan para perempuan, terutama mereka yang tinggal di desa dan bergantung pada hasil hutan.
Selanjutnya, Green Belt Movement atau Gerakan Sabuk Hijau, merupakan gerakan yang dipelopori oleh konservasionis Kenya bermana Wangari Maathai. Gerakan ini muncul akibat adanya desforestasi dan diskrimiminasi terhadap perempuan di Kenya. Wangari Maathai bersama para perempuan di Kenya melakukan gerakan penanaman pohon (reboisasi) untuk memulihkan kembali kondisi hutan yang rusak. Menurutnya, apa yang telah diambil dari alam harus dikembalikan kepada alam. Meskipun gerakan yang dilakukan oleh Wangari Maathai bertentangan dengan pembangunan rezim pemerintahan pada saat itu, tapi pada akhirnya Green Belt Movement mampu menghadirkan reformasi lingkungan di Kenya.
Gerakan ekofeminisme yang dipelopori oleh para perempuan tidak berhenti hanya pada perjuangan yang dilakukan oleh Vandana Shiva dan Wangari Maathai saja. Masih banyak contoh perjuangan para perempuan dalam menyelamatkan alam dan hak-hak mereka yang hingga saat ini masih berjalan. Seperti perjuangan Mama Aleta Baun yang memperjuangkan lingkungan sekitar Gunung Mutis dari penambangan marmer dan Gunarti bersama para perempuan di Kendeng melawan operasi industri ekstraktif pabrik semen yang megancam sumber air, ekosistem dan mata pencaharian para petani. Perjuangan mereka menjadi bentuk keseriusan para perempuan dalam mewujudkan keadilan dan usaha mengembalikan kembali keseimbangan alam. Mengingat penindasan yang dialami oleh para perempuan juga di alami oleh alam.
Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para perempuan menyakinkan bahwa perempuan menjadi penggerak yang akan terus memperjuangkan hak-haknya dan berupaya melawan penindasan terhadap alam. Perjuangan yang mereka lakukan menjadi bentuk kesadaran mereka terhadap pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem kehidupan yang ada di bumi, di mana manusia, alam dan mahkluk hidup lainnya harus terpenuhi hak-haknya secara adil. Sehingga, dapat terwujud ekosistem kehidupan yang setara, adil dan berkelanjutan.
Discussion about this post