Tumbuhnya berbagai stigma negatif terdapat kaum perempuan bak benalu yang terus menggerogoti tubuh inangnya. Sebab, eksistensi kaum perempuan acapkali disudutkan oleh pandangan miring yang membuat mereka semakin termarginalkan dari ruang sosial. Sehingga, mereka pun kehilangan ruang untuk berekspresi dan mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Dalam kehidupan sosial, perempuan kerap diposisikan pada posisi kedua setelah laki-laki. Sehingga, ketidaksetaraan seolah menjadi keniscayaan yang akan terus menemui jalan terjal. Kekerasan verbal/non-verbal, opresi, alienasi, subordinasi dan domestifikasi kerja akan terus melekat pada diri kaum perempuan jika tidak ada perubahan stigma terhadap mereka di dalam ruang sosial. Oleh sebab itu, upaya-upaya untuk menumbuhkan kesadaran dan gerakan kolektif sesama kaum perempuan menjadi pilihan yang tidak bisa ditolak.
Amartha Sen melalui karyanya yang berjudul ‘Kekerasan dan Identitas’ memberikan pandangan besar bahwa kepentingan identitas bisa menjadi penyulut api kekerasan. Ia menyoroti kehidupan masyarakat di India, terutama antara kaum pemeluk agama mayoritas (Hindu) dengan minoritas (Islam) yang kerap bersitegang karena terlalu fanatik untuk melindungi eksistensi intensitas dari masing-masing kubu. Konflik yang terjadi pun terus berlarut-larut hingga banyak kaum perempuan mengalami ancama, kekerasan bahkan kehilangan ruang untuk mengekspresikan ajaran agama yang mereka anut. Seperti baru-baru ini yang terjadi, Pengadilan Tinggi Karnataka, India memutudkan larangan menggunakan hijab di sekolah. Di samping itu, tidak sedikit juga kasus perempuan Muslim di India mengalami ancaman dan kekerasan baik di ruang ibadah maupun di ruang publik.
Potret kekerasan terhadap perempuan Muslim di India menjadi salah satu gambaran masih minimnya ruang berekspresi bagi mereka. Sebaliknya, hak-hak mereka semakin hari semakin tercerabut sehingga setigma maupun kekerasan terdapat mereka seolah dilegitimasi secara sah tanpa ada proses hukum yang serius.
Tidak hanya di India saja, kaum perempuan dibelahan dunia lain, terutama di Indonesia juga seringkali mengalami tindak kekerasan. Absennya perlindungan dari negara dan belum efektifnya lembaga hukum yang ada menjadi beberapa alasan mengapa tindak kekerasan terhadap perempuan terus terjadi setiap tahunnya. Bahkan, karena minimnya lembaga pengaduan yang bersifat privat bagi kaum perempuan mengakibatkan banyak dari mereka yang mengurungkan niat untuk melaporkan pelaku. Hal ini karena mereka merasa tidak mendapatkan keamanan, perlindungan dan adanya keraguan terhadap lembaga hukum yang ada.
Tantangan yang dihadapi oleh mereka (kaum perempuan) tidaklah mudah, terlebih sekarang kekerasan berbasis gender juga bisa terjadi di ruang internet atau dunia maya. Hal inilah yang kemudian membuat mereka harus semakin waspada dan berhati-hati dalam berjejaring. Namun hal tersebut juga semakin membuat mereka sadar akan pentingnya menguatkan barisan kaum perempuan dalam melawan ketidakadilan gender, kekerasan yang mereka alami dan menyuarakan isu-isu perempuan. Sehingga, secara tidak langsung ancaman, stigma dan kekerasan yang mereka alami telah menjadi imun bagi mereka untuk melakukan perlawanan. {}
Discussion about this post