“Kebebasan tidak bisa dicapai kecuali perempuan telah dibebaskan dari segala bentuk penindasan.” – Nelson Mandela
Selalu ada peran perempuan dalam setiap gerakan pembebasan. Sangat penting perempuan punya kolektifitas yang solid saat penindasan terjadi dalam berbagai bentuk. Karena kekerasan juga berulang dalam varian yang berbeda dan selalu selalu ada cerita perjuangan perempuan yang menarik untuk dituliskan. Bukan hanya sebagai inspirasi tapi bagaimana mereka punya daya kreatif untuk mencapai kebebasan yang tidak diraih dengan mudah.
Perempuan era hari ini seperti wanita listrik Tri Mumpuni, Mama Aleta Baun aktivis lingkungan untuk hak-hak masyarakat adat penentang penambangan marmer di Nusa Tenggara Timur, Gunarti perempuan samin yang mengorganisir perempuan melawan pabrik semen dan masih banyak lagi. Kekerasan terhadap perempuan di bidang ekonomi seperti lahan pertanian di rebut, hutan dibakar untuk kepentingan oligarki, lingkungan tercemar, kualitas air dan tanah menurun, dan hak-hak perempuan untuk tumbuh setara banyak mengalami hambatan.
Bagaimana mendorong kaum terdidik lebih sensitif terhadap isu perempuan? Bagaimana Perguruan Tinggi merespon isu kekerasan yang menimpa pada mayoritas perempuan baik terkait gender, lingkungan hidup, ekonomi, politik, ruang publik dan lainnya? Bagaimana peran organisasi perempuan selama ini dalam mengadvokasi kepentingan kedaulatan perempuan itu sendiri? Saya tidak perlu merilis organisasi perempuan mana saja, tapi data menunjukkan kekerasan terhadap perempuan masih masif bahkan di beberapa daerah terus meningkat.
https://lampungpro.co/post/41707/usai-selawatan-di-metro-pria-asal-pekalongan-ini-perkosa-gadis-asal-sukadana-di-rumahnya
Belum lama seorang gadis berumur 16 tahun diajak sholawatan oleh seorang laki-laki umur 27 tahun. Kemudian diajak ke rumahnya dan diperkosa. Tidak perlu dilanjutkan banyaknya berita di pelosok-pelosok desa orang tua abai terhadap pergaulan anak perempuannya.
Ketika kekerasan terhadap perempuan diabaikan, tidak ada ada cara lain kecuali membangkitkan kesadaran kaum perempuan itu sendiri. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, persentase penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas yang memiliki ijazah perguruan tinggi lebih banyak daripada penduduk laki-laki. Persentase perempuan yang pernah menamatkan perguruan tinggi mencapai 10,06% pada 2021, sedangkan laki-laki 9,28%.
Kesadaran untuk mengorganisir perempuan juga bukan semata kepentingan citra lembaga, politik, dan indeks penghargaan dari lembaga-lembaga negara. Tapi kesadaran untuk melindungi perempuan dan menempatkan mereka sebagai makhluk intelektual dan spirutual. Jika data menunjukkan jumlah perempuan di kampus sudah melampaui laki-laki, selayaknya ada gerakan pemberdayaan perempuan yang bertujuan untuk membebaskan masa depan mereka dari persoalan yang mereka hadapi.
Perempuan bukan hanya jadi leader pada struktur yang membangun hirarki atau jarak bagi kepentingan mereka sendiri. Perempuan lebih dari itu harus menjadi penggerak-penggerak yang militan di lapangan sosial. Kekerasan seksual misalnya harus di lawan dengan melibatkan para perempuan itu sendiri untuk mencegah, menghukum dan melindungi kepentingan perempuan di ruang publik. Terus memberi ruang bagi para perempuan untuk bicara, menentukan arah perjuangan mereka dan membuka akses seluas-luasnya untuk mereka menjadi manusia pejuang.
Perguruan Tinggi harus tegas dan tangkas dalam membangun arah gerak pemberdayaan perempuan. Dengan jumlah perempuan yang tidak sedikit, para mahasiswa dapat dibekali dengan skill yang mumpuni untuk menjadi modal mereka dapat mengadvokasi kepentingan mereka di ruang publik, pendidikan, ekonomi, politik, budaya dan wilayah lainnya. Bukan hanya para perempuan tapi juga para laki-laki harus memahami reposisi gender. Menghormati perempuan sebagaimana mereka menghormati ibu mereka sendiri. Namanya pemberdayaan maka mereka harus punya daya punya power untuk menentukan arah kolektif kepentingan kaum yang di sebut tiang negara. []
Discussion about this post