Ruang sosial yang tidak memihak pada hak-hak perempuan telah menjadi pemicu tumbuhnya kontruksi gerakan kaum feminis akar rumput. Ditambah lagi dengan keterasingan yang semakin jelas terlihat melabeli kaum perempuan di dalam ranah sosial akibat dari maskulinitas laki-laki, terutama kepada mereka yang mengalami kesulitan ekonomi, keterbelakangan mental, berasal dari ras minoritas (kulit hitam), dan punya kecenderungan homoseksual ataupun lesbianisme. Adanya upaya pengasingan inilah yang kemudian menjadi akar dari suburnya budaya patriarkal, rasisme, seksisme, dan diskriminasi terhadap perempuan di masyarakat.
Tekanan yang dialami oleh perempuan semakin bertambah ketika mereka dianggap sebagai makhluk inferior. Mereka senantiasa ditempatkan pada struktur kedua − subordinasi (konco wingking dalam istilah jawa) − setelah laki-laki yang dipandang maskulin dan dianggap superior. Hal tersebut dapat dilihat dari domestifikasi pada perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat, di mana ruang kerja mereka dibatasi hanya pada teritori (lingkup) rumah tangga saja. Sedangkan di ruang publik, perempuan cenderung dianggap kurang mumpuni sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses peluang kerja yang ada di sana. Adanya batas inilah yang secara tidak langsung telah mengucilkan kaum perempuan dari kehidupan sosial dan membuat mereka terkungkung pada aktivitas rumah tangga – sumur, dapur, dan kasur.
Sudah tidak menjadi rahasia umum, jika pekerjaan di sektor publik lebih didominasi oleh laki-laki ketimbang perempuan. Perempuan hanya bisa mengakses pekerjaan di sektor jasa seperti perawat dan pekerja sosial, sedangkan jenis pekerjaan pada sektor lainnya banyak diduduki dan didominasi oleh laki-laki. Secara global, tercatat TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan cukup rendah hanya berada di angka rata-rata 47 persen sedangkan laki-laki di angka 72 persen (Kompas). Fenomena ini menjadi indikasi awal bahwa pembagian kerja secara seksual terlihat nyata dalam ranah sosial. Perempuan cenderung menjadi kelompok yang tidak berdaya dan laki-laki muncul sebagai kelompok yang berkuasa. Apalagi perempuan kerap didefinisikan sebagai arketipe korban kontrol dari maskulinitas – sebagai objek yang tertindas secara seksual.
Adanya pembiaran pada budaya patriarkal yang mengakar sejak lama secara tidak langsung telah berakibat vatal bagi eksistensi kaum perempuan. Pasalnya mereka semakin terisolasi dalam kehidupan sosial. Bahkan di beberapa negara Dunia Ketiga/Selatan (negara-negara berkembang dan miskin), perempuan tidak hanya sulit dalam mendapatkan kesempatan kerja yang setara, namun juga kerap mengalami tindak kekerasan seperti pemerkosaan, prostitusi paksa, poligami, mutilasi alat kelamin (Afrika), infibulasi, dan paksaan melaksanakan purdah − segregasi perempuan (Fran Hosken; 1981). Dalam kasus ini, kebudayaan turut andil dalam membentuk kontruksi kekerasan terhadap perempuan, di samping adanya sikap superior dari kaum laki-laki.
Minimnya akses perempuan pada ruang-ruang sosial, terutama dalam mendapatkan kesempatan kerja pada akhirnya berimbas pada melemahnya kedaulatan ekonomi mereka. Perempuan miskin semakin banyak ditemukan, bahkan sebagian dari mereka secara terpaksa harus menanggung beban sebagai kepala keluarga lantaran ditinggal oleh suaminya. Khususnya di Indonesia, menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik pada 2020, terdapat 11,44 juta keluarga dikepalai oleh perempuan. Mereka merupakan kelompok yang rentan baik secara sosial maupun ekonomi. Pasalnya 95 persen perempuan kepala keluarga ini bekerja pada sektor informal seperti pedagang, buruh, petani, atau buruh tani dengan pendapatan kurang dari Rp500 ribu tiap bulan (Tempo). Kondisi inilah yang kemudian semakin menambah beban mereka, di satu sisi kesempatan kerja bagi mereka sangat minim, sedangkan di sisi lain ada tanggung jawab keluarga yang harus dipikul sendiri. Vatalnya, kemiskinan yang menerpa perempuan kian menjebloskan mereka pada lubang patriakal paling dasar yakni hilangnya aksestensi mereka sebagai manusia.
Menuntaskan masalah ketimpangan (ketidakadilan) gender tentu bukan pekerjaan mudah. Terlebih, adanya ambisi para kapitalis untuk memperkuat hegemoninya melalui eksploitasi, kolonialisasi, praktik imperialisme, dan proletarianisasi massal perempuan yang semakin mengaburkan gerakan kaum fiminis (Chandra Talpade Mohanty; 2022). Terlebih mereka yang berasal dari Dunia Ketiga yang secara langsung mengalami praktik apartheid, raisme dan pengasingan, dan proletarinisasi oleh kapital korporat yang berbasis di negara-negara Dunia Pertama. Tentu beban mereka lebih berat dibandingan dengan perempuan yang terlahir di negara-negara maju − Dunia Pertama/Utara (Amerika Serikat dan Eropa).
Selanjutnya, posisi perempuan semakin dipojokkan oleh pandangan eurosentrisme yang seringkali membelokkan arah narasi feminis menjadi bertolak belakangan terhadap tujuan awal (menghadirkan kesetaraan/persamaan hak). Sebaliknya, mereka yang berkulit putih malah menindas yang berkulit hitam, dan yang kaya menindas yang miskin. Dalam kasus ini, privilese (keluarga, budaya, ras, dan kelas) menjadi tolak ukur. Sehingga, tindakan ini menciptakan jarak dan perbedaan argumen antara kaum perempuan Dunia Pertama dan Dunia Ketiga. Bahkan, beban ganda yang dialami oleh kaum perempuan kulit hitam (utamanya terkait dengan rasisme dan seksisme) tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, namun juga oleh perempuan kulit putih (Nurul dkk; 2017). Padahal secara universal, mereka sama-sama mengalami dampak dari budaya partiarki dan endrosentrisme laki-laki.
Stella Rose Que dalam artikelnya “Black Feminist Spirit Against Racism and Sexism as Reflected in Sula”, ia menganalisis tentang kondisi sosial kaum wanita kulit hitam di Amerika awal abad 20 yang harus menghadapi dua bentuk diskriminasi sekaligus, yaitu diskriminasi rasial dan diskriminasi seksual dalam karya Toni Morrison yang berjudul Sula. Ia menyimpulkan bahwa diskriminasi rasial telah membuat masyarakat kulit hitam mengalami penderitaan selama berabad-abad. Bahkan mereka tidak bisa keluar dari dominasi kaum kulit putih. Sedangkan diskriminasi seksual dalam bentuk nilai-nilai patriarkal telah membuat kaum perempuan kulit hitam berada dalam kepasrahan, selalu bergantung pada pria (Stella Rose Que; 2010). Bentuk rasisme yang dialami oleh perempuan kulit hitam merupakan sikap diskriminatif yang menciderai eksistensi kaum perempuan secara kolektif. Secara solidaritas, seharusnya ada perlawanan masif dari mereka. Tanpa harus memandang perbedaan ras, budaya, agama dan tempat tinggal yang acapkali membelah solidaritas gerakan kaum feminis.
Narasi dan konflik yang mengisi pergerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya pada dasarnya tidak akan pernah memiliki batas. Perbedaan, ketakuan, dan pengekangan yang mengisi pergumulan gerakan kaum feminis dalam melawan praktik patriarki di masyarakat akan selalu menemui babak baru. Di mana perjuangan kaum perempuan akan senantiasa diuji dan mendapatkan perlawan dari dinamikan sosial yang terus menghimpit eksistensi mereka. Sehingga, kolektivitas dan kesadaran bersama atas penindasan yang mereka alami mesti dipupuk agar mampu menjadi power untuk mewujudkan kehidupan yang setara dan adil.
Discussion about this post