Sering kali kita menganggap mereka yang duduk sebagai eksekutif atau legislatif benar-benar memenangkan pertarungan? Duduk sebagai pejabat politik, punya gaji, mengetahui anggaran, punya kekuasaan dan jamak kita ketahui sebuah capaian dengan modal yang tidak sedikit. Demokrasi macam apa yang bisa kita definisikan jika berakhir dengan cara-cara seperti itu. Kapan mensudahi kepura-puraan, puja-puji sementara dengan jabatan yang jelas ada limitasinya.
Yang kalah kita anggap gagal, lalu kemudian kita seolah yakin yang menang dengan modal besar dapat memberi harapan. Ditambah argumen seolah kokoh, dalam politik tidak ada benar salah yang ada menang kalah. Benarkah argumen itu, jika kelompok demokrasi yang hari ini ikut meruntuhkan order baru, juga balik badan mengamini perilaku pesimis dalam membangun logika demokrasi yang kian menyesatkan.
Demokrasi La Roiba Fih (tidak ada keraguan padanya) buku Cak Nun terbitan Kompas mengenai demokrasi. Sebagai sebuah sistem di mana rakyat diposisikan egaliter. Demokrasi itu harga mati. Demokrasi itu kebenaran sejati. Demokrasi itu La Roiba Fih, tak ada keraguan padanya. Pernyataan Cak Nun terhadap demokrasi dalam buku ini juga penuh pernyataan gugatan, satire, bahkan paradoks praksisnya manakala diterapkan. Cak Nun menilai “Demokrasi itu bak ‘perawan’ yang merdeka dan memerdekakan. Watak utama demokrasi adalah ‘mempersilahkan’. Tidak punya konsep menolak, menyingkirkan atau membuang.”
Kemenangan Demokrasi bukan pada mereka yang duduk di kekuasaan, tapi saat demos (rakyat) itu cratos (berdaulat). Kratos dalam bahasa Yunani adalah dewa kekuatan. Dia adalah putra Pallas dan Stiks. Kratos bersaudara dengan Nike (kejayaan), Bia (“tenaga”) dan Zelos (“semangat”). Ketika kita mendaku berdemokrasi lalu kemudian rakyat malah semakin tidak punya kejayaan, tenaga dan semangat artinya kita semakin salah berdemokrasi.
Kebanggaan memenangkan demokrasi juga bukan pada ritual hadir di TPS (tempat pemungutan suara) tapi pada gerakan demokratis di tengah-tengah masyarakat agar semakin meningkat partisipasi, sikap sadar menentukan masa depan secara kolektif, budaya gotong royong–sesuai Pancasila– dan lahirnya banyak gagasan dari warga yang kreatif dan inovatif. Jika Demokrasi dibajak segelintir elit eksekutif, legislatif, yudikatif bahkan kepentingan oligarki, kita akan melihat pembangunan fisik semakin hancur seiring dengan meningkatnya biaya demokrasi padat modal.
Menghadirkan ruang Demokrasi yang sehat tidak harus dari ritual 5 tahunan. Setiap hari kita dapat berdemokrasi dengan warga sekitar. Demokrasi secara gagasan dan gerakan. Kemauan untuk duduk bersama, menyampaikan pendapat, siap berbeda dan siap untuk saling bertukar ide satu sama lain. Setelah itu komitmen mendaratkan gagasan bersama-sama untuk mencapai apa yang disebut kratos dalam makna demokrasi substansial. Bung Hatta berucap,”tidak ada Demokrasi politik tanpa Demokrasi ekonomi.”
Gerakan ekonomi masyarakat yang dibangun secara demokratis akan mengurangi ketimpangan ekonomi. Tidak perlu bicara proyek APBN sampai APBD yang kualitasnya dapat kita ukur, menghadirkan pendidikan kreatif di tengah masyarakat akan menghasilkan manusia-manusia kreatif yang kelak mendorong demokrasi lebih sehat dan berkualitas. Jika rakyat tidak menang dari ritual demokrasi padat modal, rakyat dapat menang secara gagasan dan gerakan dari proses politik gagasan dan gerakan. Sikap demokratis bukan karena seseorang menang atau kalah dalam kontestasi, tapi apakah seberapa yakin gagasan dan gerakan kolektif dapat memperbaiki ruang hidup disekitar kita.
#jagateman #pemberdayaan #ekonomikreatif
Dharma Setyawan
Discussion about this post