Selain karya, sisi paling menarik dari seorang perupa adalah kisah kehidupan yang pernah ia jalani dalam laku sebagai seniman. Kisah itu bisa menjadi inspirasi antar generasi, baik bagi individu yang memang berkecimpung di bidang kesenian, maupun mereka yang hanya berada di pinggiran lingkaran kesenian.
Salvtor Yen Joenaidy melewati usia 20an bukan sebagai pelukis. Berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain di luar dunia kesenian adalah cara Yen bertahan hidup. Tak dinyana, pada akhir usia 30an, ia terlilit hutang di sebuah bank yang menyebabkan dirinya harus ‘melarikan’ diri ke Jakarta. Di ibu kota, Yen bekerja di pabrik pengolahan kayu di sekitar Kranji. Kondisi keuangan yang pas-pasan di ibukota membuat Yen tak bisa menikmati gemerlap kehidupan Jakarta. Yen hanya bisa beroleh hiburan dengan mengunjungi galeri lukisan sembari belajar melukis secara otodidak. Di Kranji, ia memanfaatkan kayu bekas pengolahan di pabriknya untuk dijadikan bingkai dari kanvas yang ia beli di toko.
Yen pulang ke Lampung dan masuk ke dalam dunia seni rupa secara total. Dalam waktu yang relatif pendek, dia sudah dikenal baik oleh kalangan pelukis yang biasa gaul di Taman Budaya Lampung. Edi Suherli menawarkan Yen untuk ikut pameran di Taman Budaya Lampung bersama beberapa pelukis. Berbekal lukisan yang ia kerjakan semasa mukim di Kranji, Jakarta, Yen ikut dalam pameran keroyokan itu. Pameran di Taman Budaya pada awal tahun 1990-an itu memberikan honor bagi pelukis yang memajang karyanya. Yen sempat kebingungan ketika ditanya oleh rekan pelukis perihal honor. “Kok, gua nggak dapet ya.” Seloroh Yen sambil tertawa mengenang kejadian itu.
Pada tahun 1994, suara angin mengenai rencana pameran yang akan digelar oleh empat orang pelukis asal Lampung yang mukim di Jakarta terdengar oleh Yen dan pelukis lain yang biasa ‘nongkrong’ di Taman Budaya Lampung. Ada kedongkolan di hati para pelukis Lampung saat itu karena bagi mereka empat orang pelukis Lampung yang akan menggelar pameran, bukanlah pelukis yang mukim di Lampung. Alhasil, beberapa orang pelukis yang biasa kongkow di Taman Budaya Lampung duduk-duduk sembari minum-minum tepat di depan lokasi penyelenggaraan pameran lukisan.
“Mereka tidak mengajak kita yang beneran pelukis Lampung, yang memang mukim di Lampung,” Yen memberikan penjelasan.
Pameran Tunggal di Jakarta dan ‘Janji Seniman’ Syahnagra Ismail
“Saya tahu. Kalau mau jadi pelukis yang diperhitungkan harus pameran di Jakarta. Tapi bagaimana caranya.” Ucap Yen.
Yen memutar otaknya. Ia ingin total dalam dunia seni rupa. Ia ingin benar-benar tenggelam di lautan cat air, kanvas dan kuas. Sejak bertungkus lumus dalam seni lukis, totalitas Yen tidak bisa dibilang mudah. Selain menghasilkan karya, ia juga harus tetap belajar secara otodidak agar proses melukisnya tidak berhenti di jalan.
Yen mengutarakan niatnya untuk mengadakan pameran di Jakata kepada sohibnya, Surahman, yang juga pelukis asal Kota Metro. Berbekal karya yang telah mereka buat, Yen dan Rahman menuju Jakarta. Bingkai lukisan yang besar dan berat harus mereka pikul dalam perjalanan yang dilakukan secara ‘ngeteng’—berganti-ganti bus dan satu kali naik kapal laut di Selat Sunda. Beban Yen ke Jakarta juga masih harus diperberat dengan pikiran: Hutang yang sudah menunggak dan rumah yang terancam disita oleh pihak bank. Yen membulatkan tekadnya: Jakarta harus menyediakan ruang untuk memajang lukisannya.
Setiba di Jakarta, Yen dan Rahman menemui Syahnagra Ismail yang saat itu merupakan Sekretaris I Dewan Kesenian Jakarta. Kepada perupa kelahiran Teluk Betung itu, Yen dan Rahman, menyampaikan maksud kedatangan mereka ke Jakarta. Syahnagra tidak langsung menanggapi dua pelukis itu. “Kalau sekarang, waktu kita tak banyak untuk ngobrol. Nanti hari Sabtu atau Minggu, saya punya waktu lebih panjang di rumah,” ucap Syahnagra saat itu.
Obrolan tiga pelukis asal Lampung—Syahnagra, Yen dan Rahman—berlanjut di kediaman Syahnagra, di bilangan Pondok Gede, Jakarta. Yen saat itu menangkap sikap Syahnagra yang terkesan ogah-ogahan dalam perbincangan.
“Sampai-sampai, Syahnagra bilang kepada kami. Kalian pelukis Lampung pameran saja di Lampung. Pelukis Lampung ‘kan harus mabuk untuk mendapatkan inspirasi.” Yen mengenang perbincangan dengan Syahnagra yang saat itu awalnya menunjukkan sikap kurang bersahabat.
Ingatan Yen melayang ke tahun 1994 ketika penyelenggaraan pameran di Taman Budaya yang ia dan beberapa pelukis memprotes dengan kongkow sembari minum-minum di depan lokasi pameran. Rupanya, Syahnagra masih memendam kesal terhadap kejadian itu. Syahnagra Ismail adalah salah satu pelukis yang memajang karya di Taman Budaya Lampung kala itu. Yen memutar otaknya untuk meluluhkan hati Syahnagra agar mau membantu ia dan Rahman berpameran di Jakarta. Tidak mungkin pulang ke Lampung dengan tangan kosong.
“Bang Nagra,” Kata Yen mencoba mengambil simpati Syahnagra. “Penguasa Taman Budaya Lampung itu seniman yang juga pemabuk. Jadi kami harus mabuk agar bisa diterima di sana.”
Syahnagra masih diam saja menanggapi ucapan Yen.
“Rahman dan saya ke Jakarta ketemu Abang karena ingin membuktikan bahwa pelukis tanpa harus mabuk, bisa pameran di Jakarta.”
Syahnagra menggebrak meja di hadapannya.
“Ini janji saya! Janji seorang seniman. Kalian akan pameran di Jakarta!” Ucap Syahnagra dengan suara keras kepada Yen dan Rahman.
Janji seniman mencerminkan kebulatan tekad dan tindakan. Apa saja diterabas untuk mewujudkan janji itu. Bahkan, jika menilik dari latarbelakang Syahnagra yang mendapatkan internalisasi nilai-nilai dalam budaya Lampung sejak kecil, janji orang Lampung berkait erat dengan Pi’il Pesenggiri. Sebuah janji harus dilaksanakan untuk menjaga kehormatan diri.
Syahnagra mencarikan jadwal kosong untuk Yen dan Rahman memajang karya mereka di Jakarta.
“Gedung yang memungkinkan jadi tempat penyelenggara pameran lukisan sudah padat jadwalnya. Ada dua tempat yang bisa disisipkan. Salah satunya Balai Budaya Jakarta. Saya dan Rahman memilih tempat itu,” Kata Yen.
Jadwal kosong di Balai Budaya yang berlokasi di bilangan Menteng, Jakarta, masih harus menunggu beberapa bulan sejak ‘Janji Syahnagra’ diucapkan di Pondok Gede. Rahman memilih pulang ke Metro dalam masa tunggu itu. Sedangkan Yen bertahan di Jakarta, menyewa kamar kos kecil di sekitar Lebak Bulus.
“Waktu itu saya tidak memikirkan biaya sewa tempat pameran karena Balai Budaya gratis. Saya hanya memikirkan biaya hidup di Jakarta selama beberapa bulan menunggu terselenggaranya pameran dan biaya pembuatan katalog untuk pameran.” Terang Yen.
Yen bertahan di Jakarta dengan bekerja apa pun yang menghasilkan uang. “Apa saja, yang penting halal.” Jelas Yen.
Syahnagra tahu bahwa Yen dan Rahman bukanlah pelukis kondang sehingga, meskipun berpameran di Balai Budaya, penikmat seni rupa di Jakarta belum tentu antusias untuk hadir dan menyimak karya mereka. Syahnagra menggandengkan Yen dan Rahman dengan dua pelukis asal Bogor dan dua pelukis dari Jakarta. Pameran Lukisan Tiga Kota: Jakarta, Bogor dan Lampung kemudian menjadi tajuk acara itu.
“Saya memakai bingkai dari kayu bekas pengolahan yang saya modifikasi sehingga tidak terlau terlihat kacau,” kata Yen sembari tertawa. “Sedangkan Rahman menggunakan bingkai dari sisa pembuatan kusen” Lanjut Yen.
Tampilan karya mereka tentu nampak aneh bagi pelukis lain asal Bogor dan Jakarta yang berpameran bersama mereka.
Pameran Lukisan Tiga Kota di Balai Budaya Jakarta terlaksana selama satu minggu pada medio tahun 1996. Sayang sekali Yen lupa mengenai dua pejabat negara yang membuka pameran itu. Pengunjung pameran sangat ramai. Beberapa lukisan karya pelukis Bogor dan Jakarta sudah terjual selama pameran, namun tidak begitu dengan karya Yen dan Rahman. Hingga hari ke-lima pameran, lukisan Yen dan Rahman belum mengalami proses transaksi. Yen dan Rahman pusing tujuh keliling dan tentu saja deg-degan mengingat mereka tak lagi memiliki ongkos pulang. “Uang Rahman dan saya sudah ludes untuk persiapan pameran dan membuat katalog pameran.” Jelas Yen.
Pada siang hari ke-enam pameran, Yen melihat seorang pria bolak-balik di ruang pameran memerhatikan lukisan karyanya. Terdorong oleh keinginan agar karyanya dibeli pengunjung, Yen mendekati pria itu.
“Bapak saya lihat memerhatikan lukisan ini. Kebetulan saya pelukisnya. Jika ada yang ingin ditanyakan mengenai makna dan cerita lukisan ini, saya bisa membantu Bapak.” Ucap Yen kepada pria yang ternyata merupakan karyawan dengan posisi jabatan tinggi di salah satu perusahaan alat elektronik kondang di Indonesia.
“Ya, saya tertarik untuk membeli dua lukisan yang ini dan yang itu,” balas si pria sembari menunjuk lukisan yang dihadapannya dan di sisi lain pada ruang pameran.
“Dua lukisan itu adalah karya saya. Jika Bapak berminat membelinya, saya akan melepas dua lukisan itu dengan harga Rp10.000.000, 00,” Jawab Yen sembari mengatur semangat agar terlihat wajar di hadapan calon pembeli karyanya. Padahal, menurut Yen, dadanya berdebar kencang, berharap-harap proses transaksi berjalan sukses. Yen sudah membayangkan ongkos pulang yang terpenuhi dan ada uang untuk keluarganya di Lampung.
“Bagaimana kalau segini,” ucap pria itu sembari menunjukkan tulisan 6jt yang ia bubuhkan di lembaran koran kepada Yen.
“Untuk nilai sebesar itu. Maaf saya belum bisa memberikan kepada Bapak.,” balas Yen yang tak mau menurunkan harga tawarannya terlalu jauh.
“Oke, bagaimana kalau segini,” balas si pria yang menunjukkan tulisan 7jt kepada Yen. “Jika jodoh, berarti lukisan itu jadi milik saya. Jika tidak jodoh tidak apa-apa.” Ucap si pria itu setengah memaksa kepada Yen.
“Pak, saya berpameran di sini tanpa tahu siapa pelukis yang juga ikut pameran. Sama dengan Bapak yang saya tidak kenal sebelumnya. Kita sama-sama bertemu karena minat yang sama pada seni rupa. Baiklah, untuk perkenalan kita, saya sepakat harga tersebut untuk dua lukisan itu.”
Namun perbincangan tersebut belum bisa berakhir manis bagi Yen. Si pria itu tidak membawa uang untuk membayar lunas untuk dua lukisan tersebut. Yen kemudian meminta uang panjar kepada si pria. Harapan Yen, jika si pria batal membeli lukisannya, uang panjar secukupnya sudah bisa ia gunakan sebagai ongkos pulang ke Lampung karena besok adalah hari terakhir pameran.
“Saya hanya punya Rp1.000.000,00 sebagai uang panjar. Itu kalau Bung mau terima,”
Ucapan si pria membuat hati Yen berbunga. Uang sejumlah itu sudah lebih dari cukup baginya untuk bisa pulang ke Lampung.
“Baik, Pak. Saya tunggu besok untuk pelunasannya.” Ucap Yen dengan tetap menyembunyikan kegembiraan yang meledak-ledak dalam hatinya.
“Kapan rencana turun karya?” tanya si pria itu berusaha menyesuaikan jadwalnya.
“Sekitar jam 1 siang, Pak,” jawab Yen
“Wah, saya tidak bisa kalau jam segitu. Saya baru bisa sampai sini sekitar jam 3 sore,” Balasan si pria membuyarkan kegembiraan di dalam hati Yen.
“Tidak apa. Saya tunggu Bapak di sini sampai jam 4 sore,” Jawab Yen dengan sigap.
Pukul 1 siang, semua pelukis sudah menurunkan karya mereka. Pameran ditutup. Yen menunggu di luar ruang pameran bersama dua lukisan yang tinggal mendapatkan biaya pelunasan dari si pria. Bagi Yen saat itu detik jam adalah detak jantungnya yang berdebar menunggu munculnya si pria yang sudah memberikan persekot sebesar satu juta rupiah.
Para pelukis yang berpameran bersamanya sudah pergi dari Balai Budaya. Rahman yang menemani Yen dari Lampung pun telah menuju pelabuhan Merak untuk melintasi Selat Sunda menuju Metro. Yen seorang diri di luar ruang pameran Balai Budaya—gedung yang merupakan ikon kesenian di Indonesia. Banyak peristiwa pernah terjadi di Balai Budaya yang dibangun pada tahun 1954 dengan pengelola awal yaitu Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Balai Budaya juga merupakan saksi bisu dari pergolakan kesenian di Indonesia ketika beberapa seniman mencetuskan Manifesto Kebudayaan tahun 1963. Beberapa nama pernah berproses di Balai Budaya, sebut saja pelukis Nashar, penyair WS Rendra hingga cerpenis Hamsad Rangkuti yang ketika Pameran Lukisan Tiga Kota: Bogor Jakarta dan Lampung tahun 1996 adalah ketua pengelola Balai Budaya.
Yen semringah ketika melihat si pria yang sudah berjanji membeli dua lukisan karyanya terlihat di pelataran Balai Budaya. Setelah pria itu memberikan pelunasan kepada Yen kemudian lenyap dengan membawa dua lukisan. Yen tidak segera pergi dari Balai Budaya sore itu. Ia menemui Hamsad Rangkuti.
“Bang. Aku mau pameran tunggal tahun depan.” Ucap Yen mantap kepada Hamsad Rangkuti.
“Baik. Aku carikan jadwal kosong buat tahun depan. Kau pameran di Balai Budaya,” balas Hamsad seperti tidak percaya dengan permintaan Yen.
Pameran Tunggal dan Hutang Yang Lunas
Pameran bersama pada tahun 1996 di Balai Budaya Jakarta telah melecut semangat Salvator Yen Joenaidy untuk berenang di lautan seni rupa. Sedangkan janjinya kepada Hamsad Rangkuti untuk berpameran tunggal di Balai Budaya telah membuatnya pusing karena setelah pulang ke Lampung, biaya untuk membuat lukisan sebagai karya yang akan dipamerkan tahun 1997 belum juga cukup. Tetapi janji seniman harus dipenuhi. Yen tidak mau harga dirinya sebagai seniman jatuh tak berdaya di hadapan Hamsad Ramgkuti yang sudah memberikannya jadwal berpameran di Balai Budaya Jakarta.
“Waktu itu, ada seorang pelukis senior yang biasa nongkrong di Taman Budaya Bandarlampung bilang ke saya: Baru juga bisa angkat kuas sudah mau pameran tunggal.” Kenang Yen.
Yen mencari jalan untuk bisa berpameran tunggal di Balai Budaya Jakarta. Dia mengirimkan surat kepada beberapa orang kaya yang menjadi penikmat seni rupa. Dari puluhan surat berisi ajakan untuk ikut membiayai pameran tunggalnya di Jakarta—dengan kompensasi si pemberi dana berhak memilih 5 lukisan yang sudah terpajang satu hari sebelum pelaksanaan—hanya satu orang yang membalasnya. Sayangnya si pembalas surat itu hanya menyanggupi dana sebesar Rp8.000.000,00 dari total dana sebesar Rp10.000.000,00 yang diajukan Yen melalui surat. Yen segera membalas surat itu dengan telegram agar cepat sampai kepada si pembalas surat.
Berbekal uang persekot yang dikirimkan si pembalas surat kepadanya, Yen mulai bergerak membeli kanvas, cat dan kuas untuk membuat lukisan-lukisan yang akan ia pamerkan di Balai Budaya Jakarta. Setiap hari ia melukis beragam tema lukisan dari kemampuan yang ia dapatkan secara otodidak.
Yen kembali ke Jakarta. Ia menggelar pameran tunggal di Balai Budaya Jakarta pada tahun 1997. Janji seniman ia penuhi kepada Hamsad Rangkuti. Selesai pameran tunggal pertamanya itu, Yen pulang ke Lampung dengan uang hasil transaksi yang tidak bisa dibilang sedikit untuk masa itu. Hutang di bank ia lunasi. Rumahnya batal dari intaian bank sebagai obyek sita.
Salvator Yen Joenaidy. Pelukis yang berpameran tunggal di usia 41 tahun telah membuktikan frase yang sangat terkenal: “Life begins at fourty”. Salvator Yen Joenaidy yang lahir pada 21 Agustus 1955, sampai kini benar-benar menghidupi dirinya melalui seni rupa.(*)
Discussion about this post