Saya ingat sebuah ungkapan dari Theodore W Schultz dalam Invesment in Human Capital, seorang ekonom Amerika yang dulu pernah memenangkan sebuah penghargaan Nobel Memorial Prize in Economic Sciences pada tahun 1979, bahwa kurang lebihnya seperti ini, “ada yang lebih penting untuk diperhatikan selain pembangunan gagasan untuk memperbarui modal fisik, yaitu modal manusia”. Modal manusia pada dasarnya adalah sumber daya yang sangat berharga. Keberadaannya tidak pernah habis dan bahkan kuantitasnya cenderung meningkat. Jelas berbeda dengan sumber daya alam yang semakin lama semakin tergerus habis akibat industrialisasi, modernisasi, dan kapitalisasi.
Sayangnya perhatian terhadap sumber daya ini tidak pernah optimal dilakukan sehingga banyak anak-anak lebih memilih untuk putus sekolah. Lalu, setelah itu tidak ada tawaran-tawaran lain yang diberikan sehingga mereka hanya terkooptasi dengan pola-pola hidup yang tidak memproduksi nalar kritis dalam merespon segala hal. Kita dapat melihat fenomena-fenomena itu di desa. Desa yang memiliki potensi yang sangat luar biasa tidak mampu menjawab proses-proses intervensi-intervensi kota. Pada akhirnya mereka mengkambinghitamkan keterbatasan akses dan modal dalam melakukan pembangunan.
Realitas ini menunjukkan bahwa budaya-budaya sosial akademik tidak pernah dibangun. Pada akhirnya dana desa yang terus bergulir tidak memiliki dampak signifikan pada kesejahteraan desa. Bahkan intervensi kota sudah mulai mengarah pada paradigma seseorang. Misalnya, pembangunan akan dapat dilakukan jika ada modal fisik dan fasilitas-fasilitas beton dihadirkan, banyaknya lalu lalang kendaraan-kendaraan proyek, dan semakin banyaknya investasi masuk ke desa. Jika seperti itu bukan lagi menjadi sebuah pembangunan namun juga penggerusan, pembajakan, bahkan sampai pengusiran.
Gerakan penyadaran tentu sulit dilakukan. Begitu pun orang-orang yang sejauh ini sudah terlibat dalam proyek-proyek multidisipliner. Atau bahkan ada penekanan-penekanan dari pihak pemodal bahkan pemerintah. Peristiwa yang tergambarkan dalam sistem pembangunan daerah telah menjelaskan bahwa banyak pihak tidak menyadari bahwa sumber daya utama yang dapat dioptimalkan adalah sumber daya manusia. Itu mengapa masyarakat petani, nelayan, pekebun, dan penembak tidak pernah sejahtera. Mereka tidak mampu bersinergi dalam membangun padahal mereka paham bahwa mereka memiliki modal sosial yang dapat kapan saja dioptimalkan. Itu karena pemodal telah menggerus keberadaan modal sosial tersebut.
Meskipun human capital pada dasarnya tidak berwujud seperti halnya modal fisik, human capital memiliki fungsi uang kuat sebagai pendorong untuk meningkatkan produktivitas. James S. Coleman, ‘Social Capital in the Creation of Human Capital’ melihat bahwa pemanfaatan modal manusia ini akan berpengaruh pada goals yang lebih luas daripada tidak memiliki modal sosial. Kekuatan-kekuatan sosial, kebudayaan dan keagamaan dapat menjadi daya yang kuat dalam membangun sebuah peradaban. Ini merupakan sumber daya yang besar jika dapat dimanfaatkan dengan baik, bagaimana orang bisa terus bekerjasama, bergotong royong, tenggang rasa, dan tentunya berintegrasi dalam merespon segala bentuk permasalahan.
Lalu bagaimana membersamai perkembangan dunia dalam bidang sciences misal? Saya melihat kebenaran itu terus bergulir. Kesalahan akan dibenarkan oleh kebenaran atau penemuan baru. Begitu pun kebenaran akan dibenarkan oleh kebenaran baru. Dalam temuan sciences misal, yang diakui sebagai penemuan genius maka akan terbarui oleh penemuan-penemuan di masa yang akan datang. Artinya tidak ada sebuah kebenaran abadi atau sebuah kebenaran yang hakiki dari sebuah buatan manusia.
Dalam pandangan-pandangan paham relavisme kognitif menjelaskan bahwa kebenaran itu bersifat relatif dan tidak mutlak. Begitu pun Nietzche yang juga mengartikan sebuah kebenaran atau pengetahuan tidak ada yang bersifat final dan bahkan universal. Tidak ada sebuah kebenaran yang harus diakui secara global karena kebenaran yang diakui di satu tempat belum tentu dapat direplikasikan di tempat, kebudayaan, dan di peradaban lain. Ini menegaskan bahwa standarisasi dunia pada konsepnya tidak pernah bisa relevan jika dipakai di daerah-daerah yang pada nyatanya memiliki perbedaan dalam banyak hal.
Dalam membangun sebuah peradaban hal pertama yang perlu dilakukan adalah membangun basis modal. Dan, human capital dalam hal ini menjadi utama karena selain memiliki potensi keberadaannya akan memberi dampak signifikan pada goal yang dibuat. Kesadaran itu tentu harus disampaikan dan didiskusikan. Melibatkan mereka dalam sebuah forum tentu harus dihadirkan tanpa melihat siapa dan darimana mereka.
Payungi setelah 2 tahun berjalan telah menemukan zona pemberdayaan yang komprehensif. Transformasi pengetahuan pun berjalan seiring menguatnya jaringan sosial kemasyarakatan. Bahkan kesadaran mereka tentang ruang dan service membawa mereka pada sebuah kemandirian berpikir.
Saya melihat Payungi merupakan representasi dari sebuah ruang belajar. Ada suasana akademik, juga ada suasana religious. Integrasi keduanya telah membawa pada skala nilai yang luar biasa dalam merespon ketidakberdayaan manusia atas gejolak-gejolak ekonomi, politik, dan sosial. Nilai-nilai ini tentunya menjadi dasar dari sebuah pemberdayaan yang dilakukan. Payungi telah membuktikan bahwa tidak ada yang yang tidak mungkin jika dilakukan secara bersama-sama.
Merefleksi Payungi di tempat lain tentu besar kemungkinan dapat dilakukan. Namun tidak menutup kemungkinan pendekatan-pendekatan yang dilakukan berbeda. Jelas karena struktur sosial, agama, politik, dan budaya yang berbeda membawa pada kesimpulan yang berbeda. Maka strategi yang dihadirkan tentu jelas berbeda.
Dalam pemberdayaan tidak ada sebuah kekuasaan tunggal karena semua memiliki kuasa, andil dan kewajiban dalam membangun. Kekuasaan itu mengalir tidak diraih lalu berhenti. Kekuasaan itu bukan sebuah posisi melainkan upaya untuk memperluas sebuah relasi di dalam masyarakat. Kekuasaan harus terus berjalan sebagai sebuah proses sosial, power dan pengetahuan.
Melalui jalan pemberdayaan terbukti bahwa human capital pada kenyataannya lebih berharga daripada modal fisik. Desa dan kota tentu memiliki daya yang berbeda namun memiliki human capital yang sama. Yang membedakan keduanya adalah skala berpikir. Maka menghadirkan ruang-ruang berpikir di desa perlu dilakukan untuk menjadi dasar gerakan.
Michel Foucault menegaskan bahwa kekuasaan membentuk pengetahuan dan pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan. Pemerintah harus menyadari itu sebagai sebuah refleksi bahwa kedudukan mereka tidak hanya digunakan untuk menciptakan atau menaikkan kelas sosial, melainkan untuk membangun sebuah relasi pengetahuan sebagai proses demokrasi intelektual.
Penulis: Dwi Nugroho
Discussion about this post