Sudah tidak asing rasanya, atau bahkan orang mulai bosan mendengar bahwa banyak relasi, sama halnya dengan banyak rejeki, -rejeki dengan definisi yang berbeda-beda tentu saja, entah ia yang berbentuk mata uang, lingkungan yang support, kesehatan, kesempatan maupun bentuk lain.
Pagi yang menuju siang tadi, berangkat dari rumah Metro Kibang, yang ngaudubillah jauhnya ditambah jalanan Metro Selatan yang sama ‘ngaudubillah’ terjalnya, saya ke Payungi untuk sebuah agenda interview calon peserta Sekolah Perempuan Payungi vol 1.
Tentu saja saya tidak sendiri, bersama ka Jul yang memang sudah sedari dilahirkannya Payungi, kami tak jarang berangkat ke sana bersama, selain ya memang karena searah, kontrakannya tidak begitu jauh dan sulit ditemukan, juga sebagai upaya mengurangi tingkat kemacetan yang nggak seberapa itu.
Tidak ada obrolan mendalam juga ndakik-ndakik selama diperjalanan, hanya basa-basi pekerjaan keseharian yang ndilalah kami ini memiliki tupoksi yang sama di tempat kami bekerja. Sosial media management, -sebuah ilmu yang kami pelajari secara otodidak, learning by doing. Pembahasan yang ringan dan mengandung ‘kepuasan bathin’ tersendiri untuk hobi yang dibayar ini.
Sebelum sesi interview dimulai, sembari menunggu briefing yang akhirnya hanya sekadar wacana, kami membahas topik lain, hamdalah, topik ini adalah topik yang memang masih sangat saya dan Kak Jul gandrungi, membaca algoritma, yang dicuplikan sedikit-sedikit oleh Mas Akhyar, yang dari cuplikan-cuplikannya itulah acapkali bikin gregetan, haus, cum penasaran.
Saya belum terlalu lama mengenal Mas Akhyar. Namun, jujur saja, saya selalu tertarik ngobrol dengan beliau ini kalau sudah berbicara menyentil sosial media management. Saya masih ingat pertamakali menemukan titik ‘klik’ berdiskusi dengan beliau yakni ketika membahas perihal konten microblog. Pada saat itu beliau sedang menggarap microblog untuk konten kampung bahasa payungi.
Dari situlah, setiap kali bertemu, atau ketika beliau mengisi diskusi yang membahas perihal sosial media plus kontennya, saya tidak pernah tidak memperhatikan, wajarlah, ilmu ini sangat mahal saya kira. Beliau sendiri mengakui, untuk invest pengetahuan tersebut perlu nominal rupiah yang tidak sedikit, juga pengorbanan waktu luang untuk ngalap ilmu dengan mengikuti seminar-seminar yang tidak main-main itu.
Saya tidak begitu tahu apa yang membawa beliau bisa sampai ke Payungi, begitu juga dengan yang lain, namun saya selalu bersyukur setiap kali ada orang-orang berdatangan yang kemudian ‘tinggal’ di Payungi, tentu saja ini juga adalah hal yang disyukuri penggerak lain. Karena kami meyakini, meski tidak semua, setiap yang datang ke Payungi jelas adalah orang yang mau sama-sama belajar, menerima segala bentuk pengetahuan dan menjadi bagian.
Payungi memanglah lingkungan yang diciptakan atas asas gotong royong, kolaborasi, maka dari itu, entah dari mana saja, Payungi selalu mencoba menjaring relasi-relasi yang baru untuk ilmu-ilmu baru. Seperti yang dikatakan Pak Dharma dalam skenario pidatonya yang di luar kepala itu, “Setiap yang belajar harus naik kelas.” Dan dengan jalan ‘relasi’ inilah saya kira, salah satu mediator untuk setiap yang belajar akan naik kelas.
Saya juga masih ingat betul, belum juga satu tahun umur Payungi saat itu, pada sebuah diskusi, pak Dharma pernah bertanya kepada dirinya sendiri juga kepada penggerak lain.
“Setelah Payungi, lalu apa?”
Awal gelaran dua tahun yang lalu, Payungi hanya dikenal sebagai kampung warna-warni, juga sebuah pasar jajanan tradisional. Namun, kini Payungi telah diimani sebagai tempat belajar banyak hal. Saya tidak bisa membayangkan bila saja ketika dulu Payungi memilih menjadi komunitas yang eksklusif, tidak menjalin relasi, barangkali Payungi tidak akan pernah melebarkan sayap seperti saat ini. -Setelah Payungi, hanya Payungi.
Oleh karena itu saya benar meyakini, dari relasi ini kita bisa mendapatkan hal-hal besar yang bahkan belum pernah kita bayangkan sebelumnya, berawal dari sebuah kegelisahan, “Setelah Payungi, lalu apa?” Seiring berjalannya gerakan, kini, lihat saja keberadaan kampung bahasa, kampung kopi, galeri ekraf dan sebagainya, bagaimana keilmuan itu terus tumbuh di payungi berkat relasi yang terus dijalin.
Karena pada dasarnya, memang haruslah bergitu jalan pemberdayaan, -merawat relasi, setia berkolaborasi. Bukankah berjamaah lebih baik daripada sendiri?
Discussion about this post