Jika kita kelompokkan lebih spesifik SDGs Desa yang disahkan melalui Permendesa PDTT nomor: 13/2020 yaitu tentang Desa Tanpa Kemiskinan, Desa Tanpa Kelaparan, Desa Sehat dan Sejahtera, Pendidikan Desa Berkualitas, Keterlibatan Perempuan Desa, Desa Layak Air Bersih dan Sanitasi, Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan, Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata, Infrastruktur dan Inovasi Desa sesuai kebutuhan, Desa Tanpa Kesenjangan, Kawasan Permukiman desa aman dan nyaman, Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan, Desa Tanggap Perubahan Iklim, Desa Peduli Lingkungan Laut, Desa Peduli Lingkungan Darat, Desa Damai Berkeadilan, Kemitraan Untuk Pembangunan Desa , Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.
Kita bisa membaginya dalam 3 hal prioritas Budaya, Ekonomi dan Lingkungan Hidup dalam konsep gerakannya membutuhkan Edukasi, Inovasi dan Kolaborasi (kemitraan). Saya menangkap SDGs Desa sama dengan SDGs (Sustainable Development Goals) 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk keselamatan manusia dan planet bumi. Permendesa menyesuaikan konteks desa dan ditambah ke-18 yaitu Kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif.
Budaya Desa dan Pendidikan
Budaya adalah kearifan dan kebiasaan masyarakat desa yang tumbuh dengan keberagaman. Sebelum negara terbentuk budaya ini sebagai tata nilai yang menjadi pegangan. Hasil cipta, karsa dan karya sebuah entitas masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang. Maka sejak lama desa punya hukum sendiri dan sangat mungkin berbeda dengan hukum negara. Budaya sebagai tata nilai, juga mewujud dalam tradisi adat istiadat, arsitektur, kesenian, kuliner, fashion, dan lainnya. Saat desa masih melestarikan kebudayaan asli, saat itu desa masih otonom menjadi dirinya sendiri. Jadi jangan heran jika masyarakat Baduy menolak dieksploitasi untuk kepentingan wisata saja, bukan diadopsi nilai Baduy secara konsepsi.
Kebudayaan desa dianggap terbelakang, negara melihat desa sebagai objek dan kompas kebudayaan desa memang ditinggalkan orang-orang desa menuju konsep urban. Desa butuh konsep pendidikan yang mendekatkan peserta didik pada desanya bukan malah menjauhi bahkan meninggalkan desa itu sendiri. Sarjana desa bukan hanya sekadar gelar kesarjanaan, tapi sebuah konsep utuh pemikiran kokoh memperjuangkan desa sebagai subjek. Mereka bangga pada desa, mereka punya nyali memperjuangkan desa.
Ekonomi Desa dan Inovasi
Desa dalam struktur ekonomi terus berproduksi, tapi dalam perputaran ekonomi selalu ditinggalkan. Hal ini sejalan dengan gagalnya mayoritas konsep koperasi desa, lumbung pangan desa dan pasar Desa. Melalui koperasi sebenarnya desa dapat menahan laju yang selama ini ramai di kota. Koperasi desa mayoritas hanya berisi papan nama dan gagal menghadirkan demokrasi ekonomi yang dicita-citakan Bung Hatta. Lumbung pangan menjadi kekuatan desa agar bahan pokok yang diproduksi oleh desa punya nilai tawar saat tengkulak bermain harga saat panen. Kemudian pasar desa adalah konsep ruang kreatif yang harus dibangun bukan tentang kepentingan ekonomi, tapi silaturahmi, edukasi, wisata, kebudayaan dan lainnya.
Ekonomi desa membutuhkan inovasi bukan hanya dari aparat desa, tapi pemuda-pemuda desa yang terdidik melalui pendidikan berbasis desa. Anggaran desa rata-rata 1 miliar sangat bisa membentuk ekosistem anak muda yang punya mental penggerak dan mengembangkan ekonomi desa dengan inovasi pemberdayaan, ruang kreatif dan media digital. Jadi SDGs Desa sebagai sebuah konsep harus bisa dikerjakan dan menjadi tujuan bersama.
Lingkungan Hidup Desa dan Kolaborasi
Selain desa harus tumbuh secara ekonomi desa juga harus sadar menjaga lingkungan hidup. Meskipun kepentingan keduanya sering bersebrangan lingkungan hidup desa yang masih terjaga juga memberikan dampak ekonomi yang sustainable. Kita melihat Baduy, Kasepuhan Ciptagelar, Masyarakat Samin sudah membuktikan itu ratusan tahun. Kesadaran menjaga air dan pohon saja dapat menjadi alasan sebuah desa bergerak dan memanen banyak hal.
Jadi kolaborasi di sini sebagai upaya berbagai pihak untuk menyadari bahwa ekonomi harus tumbuh tapi juga menimbang dampak lingkungan. Jika Lingkungan hidup rusak, kebudayaan desa juga akan berubah. Desa yang dapat melakukan konsolidasi ulang tatanan lingkungan hidup akan kembali memanen apa yang selama ini diproduksi oleh alam itu sendiri. Contoh Sapri dalam film Baduy memanen madu, durian, rambutan dan panen padi 1 tahun cukup untuk menghidupi keluarga yang berjumlah 10. Jika untuk bertahan hidup manusia harus merusak tatanan lingkungan hidup, untuk apa mereka sekolah tinggi-tinggi?
SDGs Desa harus dipahami sebagai gagasan dan gerakan. Orang-orang muda desa harus diajak memahami sehingga mereka akan mengisi ruang kosong dan menjadi penggerak sesuai dengan skill yang mereka miliki. Kita melihat negara banyak mengirim tenaga pendamping desa, pendamping keluarga harapan, pendamping wisata Pokdarwis, dan sasaran lain melalui kementerian terkait. Jika kita mau jujur mereka hadir ke desa secara karikatif belum menjadi penggerak pemberdayaan. Pendidikan desa bukan sekadar menyekolahkan anak-anak desa ke institusi. Pendidikan desa adalah sebuah proses formal atau non formal mengkancah desa dari berbagai perspektif, melihat kajian desa sebagai kewajiban masyarakat desa itu sendiri. Sampai mereka benar-benar menjadi subjek untuk mengubah desa menjadi jalan pulang ke masa depan.
Dharma Setyawan
Payungi University
Discussion about this post