Oleh: Mukhtar Hadi
Ketika diminta untuk menyampaikan pidato kebudayaan dengan tema Pendidikan Komunitas dalam kerangka pemberdayaan masyarakat saya cukup lama merenung. Apa yang harus saya sampaikan untuk memenuhi harapan tersebut. Pada akhirnya, saya mengambil kesimpulan ini bukan soal parade konsep dan teori. Tetapi ini soal kontemplasi dan refleksi manusia dan kebudayaannya. Bukankah Allah banyak mengingatkan kita untuk banyak bertafakkur? Afala tatafakkaruun; Afala yatafakkaruun; Afala Ta’qiluun; Afala yatadabbaruun. Semua itu mengandung pesan untuk kita berfikir secara kontemplatif. Bukan hanya berteori dan mengadu konsep. Kita sudah terlalu banyak berteori tetapi kurang berkontemplasi, kurang bertafakkur. Kata bijak Ali Syariati, “ Kemiskinan sejatinya bukanlah Semalam tanpa makan, melainkan sehari tanpa Berpikir”.
Kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia adalah esensi yang menjadi alasan manusia itu ada dan berada. Manusia tanpa kebudayaan, maka ia bukan manusia. Jika ada manusia tanpa kebudayaan maka ia menjadi hayawan. Kebudayaan yang bersumber dari akal fikiran manusia itulah yang membuat kehidupan menjadi berkembang, mengalami kemajuan dan mengejawantahkan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Kebudayaan memiliki tujuh unsur utama (universal culture), yaitu bahasa, sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan dan teknologi, sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup, sistem religi, serta kesenian. Kapanpun dan dimanapun manusia berada, ketujuh unsur universal culture pasti ada. Menafikan satu atau beberapa unsur dari kebudayaan itu sama dengan mengeleminasi manusia dari nilai-nilai kemanusiaannya.
Dimana pendidikan dalam kebudayaan? Ada dalam unsur sistem pengetahuan. Manusia dan kebudayaannya menghasilkan pengetahuan-pengetahuan. Pengetahuan-pengetahuan itu diakumulasi, diteoretisasi dan dikonseptualisasi, maka jadilah ilmu pengetahuan. Kemudian ilmu pengetahuan sebagai produk kebudayaan diwariskan turun temurun, dari generasi ke generasi lewat pendidikan. Pendidikan di rumah, sekolah dan di masyarakat sesungguhnya proses mewariskan kebudayaan yang bernama ilmu pengetahuan.
Esensi Pendidikan bukan hanya sekedar mengisi kepala manusia dengan pengetahuan, tetapi berusaha mewujudkan manusia yang memiliki kesadaran akan diri kemanusiaannya. Dengan pendidikan diharapkan seseorang menyadari tugas dan tanggungjawabnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Khalifah bagi dirinya sendiri, bagi orang lain serta bagi semesta alam. Jika itu bisa dilakukan, maka ia akan menjadi rahmat lil ‘alamiin. Begitu pulalah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau bukan saja Nabi secara ritual spiritual, akan tetapi Beliau juga Nabi secara sosial.
Nabi Muhammad lahir di Mekah dalam kondisi sosial yang buruk sekali. Beliau tidak belajar membaca dan menulis karena budaya Mekah memang tidak mendukung untuk itu. Beliau menikah dengan seorang janda kaya pada usia 25 tahun dan mulai melakukan perenungan di gua Hira untuk memikirkan kondisi sosial, relijius, politik dan ekonomi disekelilingnya. Beliau kemudian benar-benar mengejutkan kota Mekah pada usia 40 tahun untuk membebaskan masyarakat Mekah dan juga seluruh umat manusia. Beliau dalam melakukan semua itu bukan hanya memerankan diri sebagai guru dan filosof, namun juga sebagai aktivis yang turun ke lapangan dan juga menjadi seorang pejuang penggerak.
Pendidikan adalah sebagai sarana liberasi (pembebasan). Pembebasan dari apa? Tentu saja pembebasan dari keterbelakangan, kelemahan dan ketidakberdayaan, kemiskinan, dari struktur yang tidak adil dan tidak menguntungkan. Sebab itu Islam senantiasa mengajak agar nilai-nilai teologis itu harus diterjemahkan ke dalam aras praksis berupa pembebasan dari segala belenggu tersebut. Pemikiran maju dan revolusioner ini sebagaimana alam pikiran Asghar Ali Enginer (1999) dalam bukunya Islam and Liberation Theology atau Islam dan Teologi Pembebasan. Cara memahami dan menafsirkan pesan-pesan agama yang hanya melihat pada sisi ritual (ibadah) semata harus diubah kepada pandangan bahwa ajaran agama bukan hanya soal ritual semata tetapi memuat juga pesan-pesan keadilan, kesetaraan dan pemihakan kepada mereka yang kurang beruntung.
Asghar Ali Enginer (1999:8) mengkritik mereka yang beragama hanya berkutat pada persoalan ritual semata dan melanggengkan status quo. Berikut katanya:
“Sayangnya, Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo, begitu Nabi meninggal dunia. Selama abad pertengahan, Islam sarat dengan praksis feodalistik dan para ulama justru ikut menyokong kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang ibadah-ibadah ritual dan menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah furu’iyah dalam syariat, dan sama sekali mengecilkan arti elan vital Islam dalam menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas (mustad’afin)”.
Mereka yang bekerja dengan ikhlas untuk pemberdayaan masyarakat, yang membantu kaum mustad’afin, mereka itulah sesungguhnya salah satu kelompok yang memahami elan vital Islam dan menterjemahkannya dalam gerakan pembebasan. Merekalah yang berusaha menjadikan tauhid yang selama ini dipahami secara jumud menjadi teologi pembebasan kearah tauhid sosial yang membebaskan.
Dengan basis tauhid yang kuat maka segala upaya Pendidikan Komunitas adalah menfasilitasi masyarakat supaya berdaya dan bukan memperdaya. Belajar bersama menemukenali persoalan-persoalan yang dihadapi dan menyelesaikan secara bersama-sama pula dengan tanpa harus menggurui atau menggarami lautan yang sebenarnya memang sudah asin. Pemberdayaan masyarakat bukan mengajari ikan berenang karena mereka sudah bisa berenang bahkan sangat mahir berenang. Masyarakat memiliki pengalaman hidup yang kaya dan telah mengarungi lautan asam garam kehidupan.
Pendidikan komunitas bukan mengenalkan dan mengajarkan konsep dan teori. Jangan seperti para teknokrat atau birokrat yang datang dengan banyak konsep dan teori lalu memaksakan teori itu kepada masyarakat. Kehidupan dan kebudayaan masyarakat sesungguhnya teori itu sendiri. Pendidikan komunitas berusaha menemukan dan mengungkapkan pengetahuan dan teori yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Pemaksaan teori yang asing bagi masyarakat hanya akan menimbulkan “luka” yang akan sangat menyakitkan bagi masyarakat.
Alam takambang menjadi Guru, begitu kata bijak orang Minang. Manusia sebagai bagian dari alam dengan segala pernak perniknya, ditambah dengan lingkungan hayati dan non hayati adalah guru sekaligus sebagai sumber teori yang tidak ada habisnya. Bukankah teori-teori pengetahuan awal mulanya berasal dari pemahaman dan penelitian terhadap alam? Teori dihasilkan dari grounded research kata ahli metodologi penelitian.
Maka sangat penting pendidikan komunitas untuk pemberdayaan melihat hal-hal yang genuine community dan kearifan lokal sebagai basis pembelajaran (grounded learning). Dari sanalah akan lahir khazanah pengetahuan-pengetahuan baru. Dari pengetahuan baru itu bersama-sama mengetuk nurani untuk membangun kesadaran dan gerakan pemberdayaan. Saya kira penggerak Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi) sudah memulainya. Gerakan pemberdayaan ketika sudah dimulai, maka tidak boleh berhenti, karena pemberdayaan adalah proses yang terus menjadi.
Sebagaimana Paula Freire, Pendidikan sesungguhnya adalah proses penyadaran bahkan ia merupakan inti dari keseluruhan proses pendidikan. Dengan aktif bertindak dan berfikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata dan dalam suasana yang dialogis, maka pendidikan masyarakat akan dengan segera menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari rasa takut akan kemerdekaan (fear of Freedom). Kesadaran dan kemerdekaan itu yang pada gilirannya akan membebaskan manusia dari “masyarakat bisu” (silent society), ketidakberdayaan, serta dari struktur sosial yang tidak menguntungkan karena cenderung membelenggu dan menindas.
Pembebasan dan pemanusiaan manusia hanya bisa dilakukan dalm artian yang sesungguhnya jika seseorang memang benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Jadi sangatlah mustahil memahamkan seseorang bahwa ia harus mampu dan pada hakikatnya memang mampu, memahami realitas dirinya dan dunia sekitarnya sebelum ia sendiri benar-benar sadar bahwa kemampuan itu adalah fitrah kemanusiaan dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan memang mungkin baginya.
Orang Jawa sering menggunakan istilah yang berulang untuk menandaskan saripati dan esensi dari pesan-pesan moral. Mereka mengatakan untuk menjadi orang penyabar, sabar saja tidak cukup tetapi orang sabar itu harus sampai tingkat sesabar-sabarnya sabar. Menjadi orang jujur harus sampai tingkat sejujur-jujurnya jujur. Menjadi orang tawakal, harus setawakal-tawakalnya tawakal. Begitu pula halnya membangun kesadaran dalam pendidikan komunitas atau masyarakat harus mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni kesadaranya kesadaran (the consice of the consciousness). Terimakasih.
Discussion about this post